Konsep Shalat Thariqah atau Sholat Qalbu Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani

 Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani terbagi menjadi dua, yaitu konsep shalat secara syari’ah dan konsep shalat secara thariqah . Konsep shalat syari’ah menurut beliau tidak berbeda jauh dengan pendapat para ulama, sedangkan konsep shalat thariqah menurut beliau adalah shalatnya qalbu dengan cara bermunajat kepada Allah. Shalat syari’ah terbatas waktu, sedangkan shalat thariqah dilakukan sepanjang hayat.

Baca juga:Shalat daim

Selanjutnya mari kita telaah konsep shalat thariqah menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani.

Dalam kitabnya Sirr al Asrâr beliau menulis begini:

“Adapun shalat thariqah adalah shalatnya qalbu dan itu dilakukan tanpa batas waktu atau selama-lamanya. Sebagaimana diisyaratkan pada ayat ini “was shalâtul wustha”. Maksud dari shalâh al wusthâ adalah shalat qalbu karena qalbu berada di tengah badan; antara kanan dan kiri, atas dan bawah, juga menjelaskan rasa antara bahagia dan menderita.

Syaikh Abdul Qâdir al-Jîlẩnî memang memiliki pendapat yang berbeda dengan ulama-ulama lain perihal shalat wustha. Menurut beliau yang dimaksud dengan shalat wustha adalah shalatnya qalbu. Karena qalbu letaknya berada di tengah-tengah badan. Di antara kanan dan kiri, antara atas dan bawah, juga menjelaskan rasa antara bahagia dan menderita .

Hal ini berdasarkan hadits riwayat Muslim yang dikutip oleh beliau dalam kitab sirr al asrâr:

“Sesungguhnya qalbu manusia ada di antara dua jari-jari Allah. Allah membolak-balikkannya sesuai dengan kehendak-Nya”. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya kitab al Qadr bab Tashrîf Allah Ta’ala al Qulub Kaifa Yasya’, nomor hadist 2654)

Menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani shalat itu harus menghadirkan qalbu. Jika shalat qalbu dilupakan, maka rusaklah shalat syari’ah dan shalat thariqahnya. Hal ini berdasarkan hadit: “Tidaklah sah shalat seseorang kecuali disertai dengan hadirnya qalbu”.

Syaikh Abdul Qâdir al-Jîlani berkata orang yang shalat sedang bermunajat dengan Tuhannya. Sedangkan tempat munajat adalah qalbu. Bila qalbu lalai (ghaflah), maka batallah shalat qalbu sekaligus shalat badannya karena qalbu merupakan inti, dan anggota badan yang lain mengikuti”.

Menurut Syaikh Abdul Qâdir al-Jîlani, shalat syari’ah dan shalat thariqah harus dijalankan bersamaan, karena jika tidak maka shalatnya tidak diterima Allah SWT. Karena menurut beliau qalbu merupakan pusat dari segala aktivitas manusia baik secara zahir maupun batin.

Qalbu secara fisik berarti jantung yang berfungsi sebagi organ pemompa dan menyalurkan darah ke seluruh tubuh, sedangkan qalbu ruhani adalah inti dari ruh yang berfungsi sebagai alat untuk memahami.

Sehingga jika qalbu lalai dalam shalat, maka shalat kita batal.

Shalat thariqah


Adapun waktu pelaksanaan shalat thariqah menurut Syaikh Abdul Qâdir al-Jîlani adalah seumur hidup. Hal ini berdasarkan perkataan beliau:

“Sedangkan shalat tarekat dilakukan seumur hidup tanpa batas waktu. Masjidnya adalah qalbu. Cara berjamaahnya ialah dengan asma tauhid melalui lisan batin. Imamnya adalah rasa rindu di dalam qalbu untuk sampai kepada Allah SWT. Kiblatnya adalah Al Hadhrah Al Ahadiyah (fase tertinggi dari maqam ruh) yakni hadirat Allah yang maha Tunggal dan keindahan Allah SWT. Itulah kiblat yang hakiki. Selamanya, qalbu dan ruh tidak boleh lepas dari shalat ini.”

Berbeda dengan shalat syari’ah, shalat thariqah dilakukan seumur hidup. Walaupun kita sudah selesai melaksanakan Shalat syari’ah, Shalat thariqah tidak boleh berhenti. Selamanya qalbu tidak boleh lepas dari shalat thariqah ini. Hal ini sejalan dengan ayat AL-Qur’an “Wa aqimis shalâta lidzikrî” yang maksudnya dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.

Jadi ketika shalat qalbu harus senantiasa ingat kepada Allah dan zikir (ingat kepada Allah) harus dilakukan setiap saat baik dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring. (QS Ali ‘Imrân: 191)

Syaikh Abdul Qâdir al-Jîlani berujar, dalam menjalankan shalat thariqah ini qalbu tidak boleh tidur dan mati. Ia selalu punya kegiatan, baik saat tidur maupun terjaga.

Shalat tarekat dilakukan dengan hidupnya qalbu tanpa suara, tanpa berdiri, dan tanpa duduk. Orang yang menjalankan shalat tarekat, akan selalu berhadapan dengan Allah SWT dan senantiasa siaga denga ucapan, “KepadaMu kami beribadah, dan kepadaMu kami memohon pertolongan”, dan mengikuti Nabi Muhammad SAW karena begitulah keadaan Nabi”.

Al Qadhi (Syaikh Nasirudin Abul Khair Abdullah Ibn Umar Ibn Muhammad Ibn Ali Al Baidhawi) di dalam menafsirkan ayat di atas (surat Al-Fatihah ayat 5) berkata “Ayat ini merupakan isyarat tentang qalbu seorang ahli ma’rifat kepada Allah, yang telah berpindah dari keadaan gaib kepada Al Hadhrah Al Ahadiyah.

Sesuai dengan sabda Nabi SAW: “Para Nabi dan para wali selalu shalat di dalam kuburnya, seperti halnya mereka shalat di rumahnya”.

Artinya mereka selalu sibuk bermunajat kepada Allah karena qalbunya yang hidup. Syaikh berkata juga:

Bila shalat syari’ah dan shalat thariqah ini telah berpadu secara zahir dan bathin, maka sempurnalah shalat itu dan pahalanya pun sangat besar.

Menurut Syaikh Abdul Qâdir al-Jîlani, pahala bagi orang yang melaksanakan shalat syari’ah adalah surga, dan pahala bagi orang yang menjalankan shalat thariqah adalah al-Qurbah (kedekatan dengan Allah).

Orang yang melakukan shalat seperti ini berarti ia lahiriyahnya ahli ibadah, dan bathiniyahnya ‘ârif billâh (ma’rifah kepada Allah).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ZAAD AL MA'AD