MADARIJUS SALIKIN
MADARIJUS SALIKIN
(PENDAKIAN MENUJU ALLAH)
DAFTAR ISI
Taubat Menurut Al-Qur'an dan Kaitan Taubat dengan Istighfar
Dosa Besar dan Dosa Kecil
Jenis-jenis Dosa Yang Harus Dimintakan Ampunan (Taubat).
Taubat Orang Yang Tidak Mampu Memenuhi Hak atau Melaksa-
nakan Kewajiban Yang Dilanggar
Taubat Yang Tertolak.
Kesaksian atas Tindakan Hamba.
Inabah kepada Allah
Tadzakkur dan Tafakkur
I'tisham
Firar dan Riyadhah
Sima'
Hazan
Khauf
Isyfaq
Khusyu'
BUKU KEDUA
TEMPAT-TEMPAT PERSINGGAHAN IYYAKA NA'BUDU WA IYYAKA
NASTATN
Ikhbat
Zuhud
Wara'
Tabattul
Raja'
Ri'ayah
Muraqabah
Mengagungkan Apa-apa Yang Dihormati di Sisi Allah
Ikhlas
Tahdzib dan Tashfiyah
Istiqamah
Tawakkal
Tafqidh :
Keyakinan terhadap Allah
Sabar
Ridha
Syukur
Malu-
Shidq :
Itsar
Tawadhu'
Futuwwah
Muru'ah
Azam
Iradah
Adab
Yaqin
Dzikir
Fakir
Kaya
Ihsan
Ilmu
Hikmah
Firasat
Pengagungan
Sakinah
Thuma'ninah
Himmah
TEMPAT-TEMPAT PERSINGGAHAN IYYAKA NA'BUDU WA IYYAKA NASTA'IN
Mahabbah
Cemburu
Rindu
Keresahan
Haus
Al-Barqu
Memperhatikan
Waktu
Kejernihan
Kegembiraan
Rahasia
Napas
Ghurbah
Tamakkun
Mukasyafah
Musyahadah
Hayat
Al-Basthu
As-Sukru
Ittishal
Ma'rifat
Al-Fana'
Al-Baqa'
Wujud
Al-Jam'u
Tauhid
BUKU PERTAMA
PENJABARAN MENYELURUH
IYYAKA NA'BUDU
WA IYYAKA NASTA'IN
Al-Fatihah Yang Mencakup Berbagai Tuntutan
Mengingat kesempurnaan manusia itu hanya tercapai dengan ilmu
yang bermanfaat dan amal yang shalih seperti yang terkandung di dalam
surat Al-Ashr, maka Allah bersumpah bahwa setiap orang akan merugi,
kecuali siapa yang mampu menyempurnakan kekuatan ilmiahdenga iman dan kekuatan amaliahnya dengan amal shalih serta
menyempurnakan kekuatan selainnya dengan nasihat kepada kebenaran
dan kesabaran menghadapinya. Yang paling penting adalah iman dan
amal, yang tidak bisa berkembang kecuali dengan sabar dan nasihat.
Selayaknya bagi manusia untuk meluangkan sedikit waktunya, agar dia
mendapatkan tuntutan yang bernilai tinggi dan membebaskan diri-nya dari
kerugian. Caranya ialah dengan memahami Al-Qur'an dan mengeluarkan
kandungannya. Karena hanya inilah yang bisa mencukupi ke-maslahatan
hamba di dunia dan di akhirat serta yang bisa menghantarkan mereka ke
jalan lurus.
Berkat pertolongan Allah, kami bisa menjabarkan makna Al-Fatihah,
menjelaskan berbagai macam isi yang terkandung di dalam surat ini,
berupa berbagai macam tuntutan, bantahan terhadap golongan-golongan yang
sesat dan ahli bid'ah, etape orang-orang yang berjalan kepada Allah,
kedudukan orang-orang yang berilmu, perbedaan antara sarana dan
tujuan. Tidak ada sesuatu pun yang bisa mewakili kedudukan surat
Al-Fatihah ini. Karena itu Allah tidak menurunkan di dalam Taurat,
Injil maupun Jabur, yang menyerupai Al-Fatihah.
Surat Al-Fatihah mencakup berbagai macam induk tuntutan yang
tinggi. Ia mencakup pengenalan terhadap sesembahan yang memiliki ti-ga
nama, yaitu Allah, Ar-Rabb dan Ar-Rahman. Tiga asma ini merupakan
rujukan Asma'ul-Husna dan sifat-sifat yang tinggi serta menjadi poros-
nya. Surat Al-Fatihah menjelaskan ilahiyah, Rububiyah dan Rahmah. Iyyaka
na'budu merupakan bangunan di atas Ilahiyah, Iyyaka nasta'in di atas
Rububiyah, dan mengharapkan petunjuk kepada jalan yang lurus merupakan sifat rahmat. Al-Hamdu mencakup tiga hal: Yang terpuji dalam Ilahiyah-
Nya, yang terpuji dalam Rububiyah-Nya dan yang terpuji dalam rahmat-
Nya.
Surat Al-Fatihah juga mencakup penetapan hari pembalasan, pem-
balasan amal hamba, yang baik dan yang buruk, keesaan Allah dalam
hukum, yang berlaku untuk semua makhluk, hikmah-Nya yang adil, yang
semua ini terkandung dalam maliki yaumiddin.
Surat Al-Fatihah juga mencakup penetapan nubuwah, yang bisa di-
lihat dari bebeKeberadaan
1. Keberadaan Allah sebagai Rabbul-'alamin. Dengan kata lain, tidak layak bagi Allah untuk membiarkan hamba-hamba-Nya dalam keadaan sia-sia dan telantar, tidak memperkenalkan apa yang bermanfaat bagi
kehidupan dunia dan akhirat mereka, serta apa yang mendatangkan
mudharat di dunia dan di akhirat.
2. Bisa disimpulkan dari asma-Nya, Allah, yang berarti disembah dan di-
pertuhankan. Hamba tidak mempunyai cara untuk bisa mengenal
sesembahannya kecuali lewat para rasul.
3. Bisa disimpulkan dari asma-Nya, Ar-Rahman. Rahmat Allah mence-
gah-Nya untuk menelantarkan hamba-Nya dan tidak memperkenalkan
kesempurnaan yang harus mereka cari. Dzat yang diberi asma Ar-
Rahman tentu memiliki tanggung jawab untuk mengutus para rasul dan
menurunkan kitab-kitab. Tanggung jawab ini lebih besar daripada
tanggung jawab untuk menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman dan
mengeluarkan biji-bijian. Konsekuensi rahmat untuk menghidupkan hati
dan ruh, lebih besar daripada konsekuensi menghidupkan badan.
4. Bisa disimpulkan dari penyebutan yaumid-din, yaitu hari di mana Allah
akan memberikan pembalasan terhadap amal hamba. Dia memberikan
pahala kepada mereka atas kebaikan, dan menyiksa mereka atas
keburukan dan kedurhakaan. Tentu saja Allah tidak akan menyiksa
seseorang sebelum ditegakkan hujjah atas dirinya. Hujjah ini tegak
lewat para rasul dan kitab-kitab-Nya.
5. Bisa disimpulkan dari iyyaka na'budu. Beribadah kepada Allah tidak
boleh dilakukan kecuali dengan cara yang diridhai dan dicintai-Nya.
Beribadah kepada-Nya berarti bersyukur, mencintai dan takut kepada-
Nya, berdasarkan fitrah, sejalan dengan akal yang sehat. Cara beribadah
ini tidak bisa diketahui kecuali lewat para rasul dan berdasarkan
penjelasan mereka.
6. Bisa disimpulkan dari ihdinash-shirathal-mustaqim. Hidayah adalah
keterangan dan bukti, kemudian berupa taufik dan ilham. Bukti dan
keterangan tidak diakui kecuali yang datang dari para rasul. Jika ada
bukti dan keterangan serta pengakuan, tentu akan ada hidayah dan
taufik, iman tumbuh di dalam hati, dicintai dan berpengaruh di dalamnya. Hidayah dan taufik berdiri sendiri, yang tidak bisa diperoleh
kecuali dengan bukti dan keterangan. Keduanya mencakup pengakuan
kebe-naran yang belum kita ketahui, baik secara rinci maupun global.
Dari sini dapat diketahui keterpaksaan hamba untuk memanjatkan
permo-honan ini jika dia dalam keadaan terdesak, serta menunjukkan
keba-tilan orang yang berkata, "Jika kita sudah mendapat petunjuk, lalu
untuk apa kita memohon hidayah?" Kebenaran yang belum kita ketahui
jauh lebih banyak dari yang sudah diketahui. Apa yang tidak ingin kita
kerjakan karena menganggapnya remeh atau malas, sebenarnya serupa
dengan apa yang kita inginkan atau bahkan lebih banyak. Se-mentara
kita membutuhkan hidayah yang sempurna. Siapa yang menganggap
hal-hal ini sudah sempurna di dalam dirinya, maka permohonan hidayah
ini merupakan permohonan yang bersifat peneguh-an dan
berkesinambungan. Memohon hidayah mencakup permohonan untuk
mendapatkan segala kebaikan dan keselamatan dari kejahatan.
7. Dengan cara mengetahui apa yang diminta, yaitu jalan yang lurus. Tapi
jalan itu tidak bisa disebut jalan kecuali jika mencakup lima hal: Lurus,
menghantarkan ke tujuan, dekat, cukup untuk dilalui dan merupakan satu-
satunya jalan yang menghantarkan ke tujuan. Satu cirinya yang lurus,
karena garis lurus merupakan jarak yang paling dekat di antara dua
titik, sehingga ada jaminan untuk menghantarkan ke tujuan.
8. Bisa disimpulkan dari orang-orang yang diberi nikmat dan perbedaan
mereka dari golongan yang mendapat murka dan golongan yang sesat.
Ditilik dari pengetahuan tentang kebenaran dan pengamalannya, maka
manusia bisa dibagi menjadi tiga golongan ini (golongan yang diberi
nikmat, yang mendapat murka dan yang sesat). Hamba ada yang me-
ngetahui kebenaran dan ada yang tidak mengetahuinya. Yang menge-
tahui kebenaran ada yang mengamalkan kewajibannya dan ada yang
menentangnya. Inilah macam-macam orang mukallaf. Orang yang me-
ngetahui kebenaran dan mengamalkannya adalah orang yang mendapat
rahmat, dialah yang mensucikan dirinya dengan ilmu yang ber-manfaat
dan amal yang shalih, dan dialah yang beruntung. Orang yang
mengetahui kebenaran namun mengikuti hawa nafsunya, maka dia
adalah orang yang mendapat murka. Sedangkan orang yang tidak
mengetahui kebenaran adalah orang yang sesat. Orang yang mendapat
murka adalah orang yang tersesat dari hidayah amal. Orang yang
tersesat mendapat murka karena kesesatannya dari ilmu yang harus
diketahuinya dan amal yang harus dikerjakannya. Masing-masing di
antara keduanya sesat dan mendapat murka. Tapi orang yang tidak
beramal berdasarkan kebenaran setelah dia mengetahui kebenaran itu,
jauh lebih layak mendapat murka. Karena itu orang-orang Yahudi lebih
layak mendapat murka. Sedangkan orang yang tidak mengetahui
kebenaran lebih pas disebut orang yang sesat, dan inilah sifat yang
layak diberikan kepada orang-orang Nashara, sebagaimana firman-
Nya,
قُلْ يَٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَٰبِ لَا تَغْلُوا۟ فِى دِينِكُمْ غَيْرَ ٱلْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوٓا۟ أَهْوَآءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا۟ مِن قَبْلُ وَأَضَلُّوا۟ كَثِيرًا وَضَلُّوا۟ عَن سَوَآءِ ٱلسَّبِيلِ
"Katakanlah, 'Hai Ahli Kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan
(melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agama kalian, dan
janganlah kalian mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat
dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah
menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang
lurus'. "(Al-Maidah: 77).
Penggal pertama tertuju kepada orang-orang Yahudi dan penggal
kedua tertuju kepada orang-orang Nashara. Di dalam riwayat At-Tirmidzy
dan Shahih Ibnu Hibban, dari hadits Ady bin Hatim, dia berkata, "Ra-
sulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,"Orang-orang Yahudi
adalah orang-orang yang mendapat murka dan orang-orang Nashara adalah
orang-orang yang sesat." Nikmat dikaitkan secara jelas kepada Allah.
Sedangkan pelaku kemurkaan disamarkan. Hal ini bisa dilihat dari
beberapa pertimbangan:
1. Nikmat itu merupakan gambaran kebaikan dan karunia, sedangkan
kemurkaan berasal dari pintu pembalasan dan keadilan. Sementara
rahmat mengalahkan kemurkaan.Tentang pengkhususan nikmat yang
diberikan kepada orang-orang yang mengikuti jalan lurus, maka itu
adalah nikmat yang mutlak dan yang mendatangkan keberuntungan
yang abadi. Sedangkan nikmat itu secara tak terbatas diberikan kepa
da orang Mukmin dan juga orang kafir. Jadi setiap makhluk ada dalam
nikmat-Nya. Di sinilah letak rincian perselisihan tentang pertanyaan,
"Apakah Allah memberikan kepada orang kafir ataukah tidak?" Nik
mat yang tak terbatas hanya bagi orang yang beriman, dan ketidakter-
batasan nikmat itu bagi orang Mukmin dan juga bagi orang kafir. Inilah
makna firman-Nya,
وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَاۗ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَظَلُوْمٌ كَفَّارٌ
"Dan, jika kalian menghitung nikmat Allah, tidaklah kalian dapat
menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu sangatzhalim dan sa-
ngat mengingkari (nikmat Allah)." (Ibrahim: 34).
2.. Allahlah satu-satunya yang memberikan nikmat, sebagaimana firman-
Nya,
وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ ٱللَّهِ
"Dan, apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka dari Allahlah (da-
tangnya)." (An-Nahl: 53).
Sedangkan kemurkaan kepada musuh-musuh-Nya, maka bukan Allah
saja yang murka, tapi para malaikat, nabi, rasul dan para wali-Nya juga
murka kepada musuh-musuh Allah.
3. Ditiadakannya pelaku kemurkaan menunjukkan keremehan orang yang
mendapat murka dan kehinaan keadaannya. Hal ini berbeda dengan
disebutkannya pemberi nikmat, yang menunjukkan kemuliaan orang
yang mendapat nikmat.
Perhatikanlah secara seksama rahasia penyebutan sebab dan balasan bagi
tiga golongan ini dengan lafazh yang ringkas. Pemberian nikmat kepada
mereka mencakup nikmat hidayah, berupa ilmu yang bermanfa-at dan
amal yang shalih atau petunjuk dan agama yang benar, di samping
kesempurnaan nikmat pahala. Lafazh an'amta 'alaihim mencakup dua
perkara ini.
Penyebutan murka Allah terhadap orang-orang yang dimurkai, juga
mencakup dua perkara:
- Pembalasan dengan disertai kemurkaan, yang berarti ada siksa
dan pelecehan.
- Sebab yang membuat mereka mendapat murka-Nya.
Allah terlalu pengasih untuk murka tanpa ada ke jahatan dan kesesatan
yang dilakukan manusia. Seakan-akan murka Allah itu memang layak
diberikan kepada mereka karena kesesatan mereka. Penyebutan orang-
orang yang sesat juga mengharuskan murka Allah dan siksa-Nya terhadap
mereka. Dengan kata lain, siapa yang sesat layak mendapat siksa, sebagai
konsekuensi dari kesesatannya.
Perhatikanlah kontradiksi antara hidayah dan nikmat dengan murka dan
kesesatan. Allah menyebutkan orang-orang yang mendapat murka dan
yang sesat pada sisi yang berseberangan dengan orang-orang yang
mendapat petunjuk dan mendapat nikmat. Yang pertama seperti firman
Allah,
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا
"Dan, barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya
baginya penghidupan yang sempit". (Thaha: 124).
Yang kedua seperti firman Allah,
أُولَٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
˵
"Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabbnya dan
merekalah orang-orang yang beruntung." (Al-Baqarah: 5).
Ash-Shirathul-Mustaqim
Allah menyebutkan Ash-Shiratul-mustaqim dalam bentuk tunggal dan
diketahui secara jelas, karena ada lam ta'rif dan karena ada keterang-an
tambahan, yang menunjukkan kejelasan dan kekhususannya, yang berarti
jalan itu hanya satu. Sedangkan jalan orang-orang yang mendapat murka
dan sesat dibuat banyak. Firman-Nya,
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
"Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus,
maka ikutilah ia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang
lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kalian dari jalan-Nya."
(Al-An'am: 153).
Allah menunggalkan lafazh ash-shirath dan sabilihi, membanyakkan
lafazh as-subula, sehingga jelas perbedaan di antara keduanya. Ibnu Mas'ud
berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menorehkan satu garis di
hadapan kami, seraya bersabda, 'Ini adalah jalan Allah'. Kemudian be-liau
menorehkan beberapa garis lain di kiri kanan beliau, seraya bersabda, 'Ini
adalah jalan-jalan yang lain. Pada masing-masing jalan ini ada syetan yang
mengajak kepadanya'. Kemudian beliau membaca ayat, 'Dan bahwa...'."
Pasalnya, jalan yang menghantarkan kepada Allah hanya ada satu,
yaitu jalan yang karenanya Allah mengutus para rasul dan menurunkan
kitab-kitab. Tak seorang pun bisa sampai kepada Allah kecuali lewat jalan
ini. Andaikan manusia melalui berbagai macam jalan dan membuka ber-
bagai macam pintu, maka jalan itu adalah jalan buntu dan pintu. itu terkunci.
Ash-Shirathul-mustaqim adalah jalan Allah. Sebagaimana yang per-
nah kami singgung, Allah mengabarkan bahwa ash-shirath itu ada pada
Allah dan Allah ada pada ash-shirathul-mustaqim. Yang demikian ini dise-
butkan di dua tempat dalam Al-Qur'an:
إِنَّ رَبِّي عَلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
"Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus." (Hud: 56).
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَبْكَمُ لَا يَقْدِرُ عَلَىٰ شَيْءٍ وَهُوَ كَلٌّ عَلَىٰ مَوْلَاهُ أَيْنَمَا يُوَجِّهْهُ لَا يَأْتِ بِخَيْرٍ ۖ هَلْ يَسْتَوِي هُوَ وَمَنْ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ ۙ وَهُوَ عَلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
"Dan Allah membuat perumpamaan: Dua orang lelaki, yang seorang
bisu, tidak dapat berbuat sesuatu pun dan dia menjadi beban ataspe-
nanggungnya, kemana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia
tidak dapat mendatangkan suatu kebajikan pun. Samakah orang itu
dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia beradapula di
atas jalan yang lurus?" (An-Nahl: 76).
Inilah perumpamaan yang diberikan Allah terhadap para berhala
yang tidak dapat mendengar, tidak dapat berbicara dan tidak berakal, yang
justru menjadi beban bagi penyembahnya. Berhala membutuhkan
penyembahnya agar dia membawa, memindahkan dan meletakkannya di
tempat tertentu serta mengabdi kepadanya. Bagaimana mungkin mereka
mempersamakan berhala ini dengan Allah yang menyuruh kepada keadilan
dan tauhid, Allah yang berkuasa dan berbicara, yang Maha-kaya, yang ada
di atas ash-shirathul-mustaqim dalam perkataan dan perbuatan-Nya?
Perkataan Allah benar, lurus, berisi nasihat dan petunjuk, perbuatan-Nya
penuh hikmah, rahmat, bermaslahat dan adil.
Inilah pendapat yang paling benar tentang hal ini, dan sayangnya
jarang disebutkan para mufassir atau pun ulama lainnya. Biasanya mereka
lebih mem-prioritaskan pendapat pribadi, baru kemudian menyebutkan
dua ayat ini, seperti yang dilakukan Al-Baghawy. Sementara Al-Kalby
berpendapat, "Artinya Dia menunjukkan kalian kepada jalan yang lurus."
Kami katakan, petunjuk-Nya kepada jalan yang lurus merupakan
keharusan keberadaan Allah di atas ash-shirathul-mustaqim. Petunjuk-Nya
dengan perbuatan dan perkataan-Nya, dan Dia berada di atas ash-shirathul-
mustaqim dalam perbuatan dan perkataan-Nya. Jadi pendapat ini tidak
bertentangan dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa Dia berada
di atas ash-shirathul-mustaqim.
Jika ada yang mengatakan, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sal-lam
menyuruh kepada keadilan", berarti beliau berada di atas ash-shirathul-
mustaqim. Hal ini dapat kami tanggapi sebagai berikut: Inilah yang memang
sebenarnya dan tidak bertentangan dengan pendapat di atas. Allah berada
di atas ash-shirathul-mustaqim, begitu pula Rasul-Nya. Beliau tidak
menyuruh dan tidak berbuat kecuali menurut ketentuan dari Allah.
Berdasarkan pengertian inilah perumpamaan dibuat untuk meng-
gambarkan pemimpin orang-orang kafir, yaitu berhala yang bisu, yang
tidak mampu berbuat apa pun untuk menunjukkan kepada hidayah dan
kebaikan. Sedangkan pemimpin orang-orang yang baik, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyuruh kepada keadilan, yang berarti beliau
berada di atas ash-shirathul-mustaqim.
Karena orang yang mencari ash-shirathul-mustaqim masih mencari
sesuatu yang lain, maka banyak orang yang justru menyimpang dari jalan
lurus itu. Karena jiwa manusia diciptakan dalam keadaan takut jika sendiri-an
dan lebih suka mempunyai teman karib, maka Allah juga mengingat-kan
tentang teman karib saat melewati jalan ini. Orang-orang yang layak
dijadikan teman karib adalah para nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin.
Mereka inilah orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah. Dengan begitu
rasa takut dari gangguan orang-orang di sekitarnya karena dia sendi-rian saat
meniti jalan, menjadi sirna. Dia tidak risau karena harus berbe-da dengan
orang-orang yang menyimpang dari jalan tersebut. Mereka adalah
golongan minoritas dari segi kualitas, sekalipun mereka merupakan
golongan mayoritas dari segi kuantitas, seperti yang dikatakan se-bagian
salaf, "Ikutilah jalan kebenaran dan jangan takut karena minimnya orang-
orang yang mengikuti jalan ini. Jauhilah jalan kebatilan dan jangan tertipu
karena banyaknya orang-orang yang mengikutinya." Jika engkau meniti
jalan kebenaran, teguhkan hatimu dan tegarkan langkah kakimu, jangan
menoleh ke arah mereka sekalipun mereka memanggil-manggilmu, karena
jika sekali saja engkau menoleh, tentu mereka akan menghambat
perjalananmu.
Karena memohon petunjuk jalan yang lurus merupakan permo-
honan yang paling tinggi nilainya, maka Allah mengajarkan kepada hamba-
hamba-Nya bagaimana cara berdoa kepada-Nya dan memerintahkan agar
mereka mengawalinya dengan pujian dan pengagungan kepada-Nya,
kemudian menyebutkan ibadah dan pengesaan-Nya. Jadi ada dua macam
tawassul dalam doa:
1. Tawassul dengan asma' dan sifat-sifat-Nya serta memuji-Nya.
2. Tawassul dengan beribadah dan mengesakan-Nya.
Surat Al-Fatihah juga memadukan dua tawassul ini. Setelah dua ta-
wassul ini digunakan, bisa disusul dengan permohonan yang paling pen-
ting, yaitu hidayah. Siapa pun yang berdoa dengan cara ini, maka doanya
layak dikabulkan.
Cakupan Surat Al-Fatihah terhadap Macam-macam Tauhid
Tauhid itu ada dua macam:
1. Tauhid dalam ilmu dan keyakinan.
2. Tauhid dalam kehendak dan tujuan.
Yang pertama disebut tauhid ilmu karena keterkaitannya dengan
pengabaran dan pengetahuan. Tauhid kedua yang disebut tauhid kehendak
dan tujuan, dibagi menjadi dua macam: Tauhid dalam Rububiyah dan
tauhid dalam Uluhiyah.
Tauhid ilmu berkisar pada penetapan sifat-sifat kesempurnaan,
penafian penyerupaan, peniadaan aib dan kekurangan. Hal ini bisa dike-
tahui secara global maupun secara terinci. Secara global dapat dikatakan,
"Penetapan pujian hanya bagi Allah". Adapun secara terinci dapat dika-
takan, "Penyebutan sifat Uluhiyah, Rububiyah, rahmah dan kekuasaan.
Empat sifat ini merupakan pusaran asma' dan sifat."
Pujian di sini berarti pujian terhadap Dzat yang dipuji dengan me-
nyebutkan sifat-sifat kesempurnaan dan keagungan-Nya, disertai kecin-
taan, ridha dan ketundukan kepada-Nya. Seseorang tidak bisa disebut
orang yang memuji jika dia mengingkari sifat-sifat yang dipuji, tidak
mencintai, tidak tunduk dan ridha kepadanya. Jika sifat-sifat kesempur-
naan yang dipuji lebih banyak, maka pujian pun semakin sempurna.
Begitu pula sebaliknya. Karena itu segala pujian hanya tertuju kepada
Allah karena kesempurnaan dan banyaknya sifat-sifat yang dimiliki-Nya,
yang selain Allah tidak mampu menghitungnya. Karena itu pula Allah
mencela sesembahan orang-orang kafir dengan meniadakan sifat-sifat
kesempurnaan darinya. Allah mencelanya sebagai sesuatu yang tidak bisa
mendengar, melihat, berbicara, memberi petunjuk, mendatangkan man-
faat dan mudharat. Maka Allah menjelaskan hal ini seperti dalam perka-
taan Ibrahim Al-Khalil,
يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا
"Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak
mendengar, tidak tnelihat dan tidak dapat menolongmu sedikitpun?"
(Maryam: 42).
Andaikata sesembahan Ibrahim seperti sesembahan bapaknya, Azar,
tentu bapaknya akan menjawab, "Toh sesembahanmu seperti itu pula.
Maka buat apa kamu mengingkari aku?" Sekalipun begitu sebenarnya
Azar juga tahu siapa Allah, sama seperti orang-orang kafir Quraisy yang tahu
siapa Allah, tapi mereka menyekutukan-Nya. Begitu pula kaum Musa. Firman
Allah,
وَاتَّخَذَ قَوْمُ مُوسَىٰ مِنْ بَعْدِهِ مِنْ حُلِيِّهِمْ عِجْلًا جَسَدًا لَهُ خُوَارٌ ۚ أَلَمْ يَرَوْا أَنَّهُ لَا يُكَلِّمُهُمْ وَلَا يَهْدِيهِمْ سَبِيلًا ۘ اتَّخَذُوهُ وَكَانُوا ظَالِمِينَ
"Dan kaum Musa, setelah kepergian Musa ke gunung Thur membuat
dari perhiasan-perhiasan (emas) mereka anak lembu yang bertubuh dan bersuara. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa anak lembu itu
tidak dapat berbicara dengan mereka dan tidak dapat (pula) menun-jukkan
jalan kepada mereka? Mereka menjadikannya (sebagai sesembahan) dan
mereka adalah orang-orang yang zhalim." (Al-A'raf: 148).
Jika ada yang berkata, "Bukankah Allah tidak bisa berbicara dengan
hamba-Nya?" Maka dapat dijawab sebagai berikut: Allah berbicara dengan
hamba-hamba-Nya. Di antara mereka ada yang diajak berbicara dengan
Allah dari balik hijab, yang lain ada yang tanpa perantara, seperti Musa,
ada yang berbicara dengan Allah lewat perantara malaikat yang diutus,
yaitu para nabi dan rasul, dan Allah berbicara dengan seluruh ma-nusia lewat
para rasul-Nya. Allah menurunkan firman-Nya kepada mereka yang
disampaikan para rasul, "Ini adalah firman Allah dan Dia meme-rintahkan
agar kami menyampaikannya kepada kalian." Berangkat dari sinilah orang-
orang salaf berkata, "Siapa mengingkari keadaan Allah yang dapat berbicara,
berarti dia mengingkari risalah para rasul." Begitu pula kaitannya dengan
sifat-sifat Allah selainnya.
Dari sini dapat diketahui bahwa hakikat pujian mengikuti ketetapan
sifat-sifat kesempurnaan, dan penafian hakikat pujian ini juga mengikuti
penafian sifat-sifat kesempurnaan.
Hakikat Asma' Allah
Pembuktian asma' Allah yang lima (Allah, Ar-Rabb, Ar-Rahman, Ar-
Rahim dan Al-Malik), dilandaskan kepada dua dasar:
Dasar Pertama:
Asma' Allah menunjukkan sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Asma' ini
merupakan sifat, yang semuanya baik, husna. Sebab jika asma' itu hanya
sekedar lafazh yang tidak mempunyai makna apa pun, maka ia tidak bisa
disebut husna dan tidak menunjukkan kesempurnaan, lalu akan terjadi
kerancuan antara dendam dan marah yang menyertai rahmat dan ihsan,
sehingga kalau berdoa kita harus mengucapkan, "Ya Allah, sesungguh-nya
aku menganiaya diriku sendiri, maka ampunilah aku karena Engkau
pendendam". Penafian makna Asma'ul-husna termasuk kufur yang ter-
besar. Jika Allah mensifati Diri-Nya Al-Qawiyyu, berarti memang Dia benar-
benar mempunyai kekuatan. Begitu pula sifat-sifat lainnya.
Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sal-
lam, beliau bersabda,
"Sesungguhnya Allah tidak tidur dan tidak seharusnya Dia tidur. Dia
merendahkan timbangan dan meninggikannya. Amalpada malam hari
disampaikan kepada-Nya sebelum siang hari, dan amal slang hari di-
sampaikan kepada-Nya sebelum malam hari. Hijab-Nya adalah cahaya,
yang andaikan hijab ini disingkap, maka kemuliaan Wajah-Nya be-
nar-benar membakar pandangan makhluk yang memandang-Nya."
Menafikan makna asma'-Nya juga termasuk kufur yang paling be-
sar. Gambaran kufur lainnya adalah menamakan berhala dengan asma'
Allah, sebagaimana mereka menamakannya alihah (sesembahan). Ibnu
Abbas dan Mujahid berkata, "Mereka mengambil asma' Allah lalu mena-
makan berhala-berhala mereka dengan asma'-Nya, dengan sedikit me-
ngurangi atau menambahi. Mereka mengambil nama Lata dari Allah, Uzza
dari Al-Aziz, Manat dari Al-Mannan."
Dasar Kedua:
Satu dari berbagai asma' Allah, di samping menunjukkan kepada
Dzat dan sifat yang disesuaikan dengannya, maka ia juga menunjukkan
dua bukti lainnya yang sifatnya kandungan dan keharusan. As-Sami'
menunjukkan kepada Dzat Allah dan pendengaran-Nya, juga kepada Dzat
semata dan kepada pendengaran yang menjadi kandungannya. Begitu pula
sifat-sifat lainnya.
Jika sudah ada kejelasan tentang dua dasar ini, maka asma' Allah
menunjukkan kepada keseluruhan Asma'ul-husna dan sifat-sifat yang
tinggi. Hal ini menunjukkan kepada Ilahiyah-Nya, dengan penafian keba-
likannya.
Maksud sifat-sifat Ilahiyah adalah sifat-sifat kesempurnaan, yang
terlepas dari penyerupaan dan permisalan, aib dan kekurangan. Karena
Allah menambahkan semua Asma'ul-husna ke asma'-Nya yang agung ini
(Allah).
Asma' "Allah" layak untuk semua makna Asma'ul-husna dan me-
nunjukkan kepadanya secara global. Sedangkan Asma'ul-husna itu sendiri
merupakan rincian dari sifat-sifat Ilahiyah yang berasal dari asma'"Allah".
Asma' "Allah" menunjukkan keadaan-Nya sebagai Dzat yang disembah.
Semua makhluk menyembah-Nya dengan penuh rasa cinta, pengagungan
dan ketundukan. Hal ini mengharuskan adanya kesempurnaan Rububiyah dan rahmat-Nya, yang juga mencakup kesempurnaan kekuasaan dan puji-
Nya.
Sifat keagungan dan keindahan lebih dikhususkan untuk nama
"Allah". Perbuatan, kekuasaan, kesendirian-Nya dalam memberi manfaat
dan mudharat, memberi dan menahan, kehendak, kesempumaan kekuatan
dan penanganan urusan makhluk, lebih dikhususkan untuk nama " Ar-
Rabb". Sifat ihsan, murah hati, pemberi dan lemah lembut lebih dikhususkan
untuk nama "Ar-Rahman". Masing-masing disesuaikan dengan kaitan sifat.
Ar-Rahman artinya yang memiliki sifat rahmat. Sedang-kan Ar-Rahim
adalahyang mengasihi hamba-hamba-Nya. Karena itu dik-takan dalam firman-
Nya, "Dia Ar-Rahim (Maha Pengasih) terhadap hamba-hamba-Nya", dan
tidak dikatakan, "Ar-Rahman (yang memiliki sifat rahmat) terhadap
hamba-hamba-Nya".
Perhatikanlah kaitan penciptaan dan urusan dengan tiga asma' ini,
yaitu Allah, Ar-Rabb dan Ar-Rahman, yang dari tiga asma' ini ada pen-
ciptaan, urusan, pahala dan siksa, bagaimana makhluk dihimpunkan dan
dipisah-pisahkan.
Asma' Ar-Rabb memiliki cakupan yang menyeluruh terhadap semua
makhluk. Dengan kata lain, Dia adalah pemilik segala sesuatu dan
penciptanya, yang berkuasa terhadapnya dan tidak ada sesuatu pun yang
keluar dari Rububiyah-Nya. Siapa pun yang ada di langit dan bumi meru-
pakan hamba-Nya, ada dalam genggaman dan kekuasaan-Nya. Mereka
berhimpun berdasarkan sifat Rububiyah dan berpisah dengan sifat Ilahi-
yah. Hanya Dialah yang disembah, kepada-Nya mereka tunduk, bahwa
Dialah Allah yang tidak ada sesembahan selain-Nya. Ibadah, tawakal,
berharap, takut, mencintai, pasrah, tunduk tidak boleh diperuntukkan
kecuali bagi-Nya semata.
Berangkat dari sinilah manusia terbagi menjadi dua golongan: Go-
longan orang-orang musyrik yang berada di neraka, dan golongan orang-
orang muwahhidin yang berada di surga. Yang membuat mereka terpi-sah
adalah Ilahiyah, sedangkan Rububiyah membuat mereka bersatu. Agama,
syariat, perintah dan larangan berasal dari sifat Ilahiyah. Penciptaan,
pengadaan, penanganan urusan dan perbuatan berasal dari sifat Rububiyah.
Pahala, balasan, siksa, surga dan neraka berasal dari sifat Al-Malik. Artinya,
Dialah yang menguasai hari pembalasan. Dia memerin-tahkan mereka
berdasarkan Ilahiyah-Nya, menunjuki dan menyesatkan mereka berdasarkan
Rububiyah-Nya, memberi pahala dan siksa berdasarkan kekuasaan dan
keadilan-Nya. Setiap masalah ini tidak bisa dipisah-kan dari yang lain.
Disebutkannya asma'-asma' ini setelah al-hamdu (pujian) dan pe-
ngaitan al-hamdu dengan segala cakupannya, menunjukkan bahwa me-
mang Dia adalah yang terpuji dalam Ilahiyah-Nya, terpuji dalam Rububiyah-Nya, terpuji dalam Rahmaniyah-Nya, terpuji dalam kekuasaan-Nya, Dia
adalah sesembahan yang terpuji, ilah dan Rabb yang terpuji, Rahman yang
terpuji, Malik yang terpuji. Dengan begitu Dia memiliki seluruh
kesempumaan; kesempumaan dalam asma' Allah secara sendirian dan
kesempumaan dalam asma'-asma' lainnya secara sendirian serta kesem-
pumaan dalam penyertaan satu asma' dengan asma' lain. Karena itu sering
disebutkan dua asma' secara berurutan, seperti: Wallahu ghaniyyun ha-
mid, -wallahu alimun hakim, wallahu ghafurur rahim. Al-Ghaniyyu meru-
pakan sifat kesempurnaan dan Al-Hamid merupakan sifat kesempurnaan
pula. Penyertaan dua asma' ini merupakan kesempurnaan-Nya, begitu
pula penyertaan sifat-sifat yang lain.
Tingkatan-tingkatan Hidayah Khusus dan Umum
Tingkatan Pertama:
Tingkatan pembicaraan Allah dengan hamba-Nya secara sadar dan
langsung tanpa perantara. Ini merupakan tingkatan hidayah yang paling
tinggi, sebagaimana Allah yang berbicara dengan Musa bin Imran. Allah
befirman,
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَىٰ تَكْلِيمًا
"Dan, Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung." (An-Nisa':
164).
Sebelum ayat ini disebutkan wahyu Allah yang diberikan kepada
Nuh dan para nabi sesudahnya, kemudian mengkhususkan Musa, bahwa
Allah berbicara dengan beliau. Ini menunjukkan bahwa pembicaraan ini
lebih khusus dari sekedar memberikan wahyu seperti yang disebutkan
dalam ayat sebelumnya. Lalu hal ini ditegaskan lagi dengan adanya mash-
dar dari kallama. Hujjah ini untuk menyanggah pendapat jahmiyah, Mu'-
tazilah dan golongan-golongan lain yang mengatakan bahwa itu artinya
wahyu atau isyarat atau pengenalan terhadap suatu makna, yang artinya
bukan bicara secara langsung. Al-Fara' berkata, "Orang-orang Arab menye-but
kontak dengan orang lain adalah bicara, dengan cara apa pun dan
bagaimana pun. Tetapi makna ini tidak disertai dengan mashdar dari fi'il
yang sama. Jika dikuatkan dengan mashdar, berarti hakikatnya memang
bicara. Maka apabila dikatakan, "Fulan araada iraadatan", artinya Fulan
benar-benar menghendaki.
Ada firman Allah yang lain tentang hal ini,
وَلَمَّا جَاءَ مُوسَىٰ لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ
"Dan, tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu
yang telah Kami tentukan dan
telah berbicara (langsung)
kepadanya, Musa berkata, 'Ya Rabbi, tampakkanlah (Diri Engkau) kepa-
daku agar aku dapat melihat kepada Engkau'." (Al-A'raf: 143).
Pembicaraan ini berbeda dengan yang pertama saat Dia mengu-
tusnya kepada Fir'aun. Dalam pembicaraan kali ini Musa meminta untuk
dapat melihat Allah. Pembicaraan kali ini berasal dari janji Allah kepada-
nya. Sementara pada pembicaraan yang pertama tidak didahului dengan
janji.
Tingkatan Kedua:
Tingkatan wahyu yang secara khusus diberikan kepada para nabi.
Allah befirman,
إِنَّآ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ كَمَآ أَوْحَيْنَآ إِلَىٰ نُوحٍ وَٱلنَّبِيِّۦنَ مِنۢ بَعْدِهِۦ
"Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana
Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang ke-
mudiannya." (An-Nisa': 163).
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ اَنْ يُّكَلِّمَهُ اللّٰهُ اِلَّا وَحْيًا اَوْ مِنْ وَّرَاۤئِ حِجَابٍ
"Dan, tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata dengan
dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari belakang tabir." (Asy-
Syura: 51).
Allah menjadikan wahyu dalam ayat kedua ini termasuk bagian dari
bicara, sedangkan dalam ayat pertama menjadi lawan bicara. La wan bica-ra
secara khusus artinya tanpa ada perantara, sedangkan bagian dari bicara
yang bersifat umum, berarti penyampaian makna dengan berbagai macam
cara.
Tingkatan Ketiga:
Mengirim utusan dari jenis malaikat kepada utusan dari jenis manusia,
lalu utusan malaikat ini menyampaikan wahyu dari Allah seperti yang
diperintahkan-Nya.
Tiga jenis tingkatan ini dikhususkan hanya bagi para rasul dan nabi,
tidak berlaku untuk selain mereka. Utusan malaikat itu bisa berwujud
manusia berjenis laki-laki, yang bisa dilihat dengan mata telanjang dan
juga berbicara empat mata, dan adakalanya dia menampakkan diri dalam
wujud aslinya. Adakalanya malaikat ini masuk ke dalam diri rasul dan
menyampaikan wahyu seperti yang diperintahkan, lalu dia melepaskan diri darinya. Tiga cara ini pernah dialami nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi
wa Sallam.
Tingkatan Keempat:
Dengan cara bisikan. Tingkatan ini berbeda dengan wahyu yang si-
fatnya khusus dan juga berbeda dengan tingkatan para shiddiqin, seperti
yang dialami Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu. Hal ini pernah
ditegaskan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
"Sesungguhnya di tengah umat-umat sebelum kalian ada orang-orang
yang mendapat bisikan. Sedangkan dalam umat ini adalah Umar bin
Al-Khaththab."
Orang yang mendapat bisikan ialah orang yang mendapat bisikan
(firasat) itu secara rahasia di dalam hatinya tentang sesuatu, kemudian dia
menyatakannya. Lalu bagaimana dengan sekian banyak orang yang
dikuasai imajinasi dan hayalan, yang mengatakan, "Hatiku mendapat
bisikan dari Allah?" Memang tidak bisa disangkal bahwa hatinya mendapat
bisikan itu. Tapi dari mana dan dari siapa? Dari syetan ataukah dari Allah?
Jika dia mengaku berasal dari Allah, berarti dia menyandarkan bisikan itu
dari seseorang yang sebenarnya dia pun tidak mengetahuinya secara pasti,
bahwa yang membisikkan kepadanya itu benar-benar mem-bisikkan. Ini
sama saja bohong. Sementara Umar bin Al-Khaththab, salah seorang dari
umat ini yang telah dilejitimasi oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam sebagai orang yang mendapat bisikan dari Allah, tidak membuat
pengakuan seperti itu dan berkata seperti itu, kapan pun, karena Allah telah
melindungi dirinya agar tidak berkata seperti itu. Bahkan suatu hari saat
sekretarisnya menulis, "Inilah yang diperlihatkan Allah kepada Amirul-
Mukminin, Umar bin Al-Khaththab", dia berkata, "Tidak, hapus itu. Tapi
tulislah: Inilah yang dilihat Umar bin Al-Khaththab. Jika benar, maka ini
datangnya dari Allah, dan jika salah, maka ini dari Umar, sedangkan Allah
dan Rasul-Nya terbebas darinya." Dia juga pernah berkata ketika
memutuskan perkara tentang seorang anak yang tidak jelas bapak ibunya,
"Aku memutuskannya berdasarkan pendapatku. Jika benar, maka itu
datangnya dari Allah, dan jika salah, maka itu dariku dan dari syetan."
Dengan begitu engkau bisa membedakan antara sosok Umar bin Al-
Khaththab dengan sekian banyak orang yang dikuasai hayalan, pem-bual
dan permisivis yang mengatakan, "Hatiku mendapat bisikan (wang-sit) dari
Allah." Perhatikan dan bandingkan antara keduanya, kemudian berikan
hak kepada masing-masing secara proporsional, jangan samakan pembual
dengan orang yang tulus.
Tingkatan Kelima:
Dengan cara pemahaman. Allah befirman,
وَدَاوُۥدَ وَسُلَيْمَٰنَ إِذْ يَحْكُمَانِ فِى ٱلْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ ٱلْقَوْمِ وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَٰهِدِينَ
فَفَهَّمْنَٰهَا سُلَيْمَٰنَ ۚ وَكُلًّا ءَاتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا
"Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman di waktu keduanya mem-
berikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh
kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan, adalah Kami menyaksikan
keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka Kami telah memberikan
pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat) dan ilmu."
(Al-Anbiya': 78-79).
Allah menyebutkan dua nabi yang mulia ini, memuji keduanya de-
ngan ilmu dan hukum, mengkhususkan Sulaiman dengan pemahaman
dalam peristiwa ini.
Ali bin Abu Thalib pernah ditanya seseorang, "Apakah Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah mengkhususkan kalian para shahabat
dengan sesuatu tanpa yang lain?" Ali menjawab, "Tidak pernah, kecuali
hanya pemahaman tentang Kitab-Nya seperti yang diberikan Allah kepada
seorang hamba."
Pemahaman ini datangnya dari Allah dan Rasul-Nya, yang meru-
pakan inti kebenaran. Ada perbedaan di antara orang-orang yang berilmu
sehubungan dengan pemahaman ini, sampai-sampai ada satu orang yang
disamakan dengan seribu orang. Perhatikan pemahaman yang dimiliki
Ibnu Abbas, saat dia ditanya Umar dalam pertemuan yang dihadiri para
shahabat yang pernah ikut perang Badr dan juga lain-lainnya tentang
makna surat An-Nashr. Menurut Ibnu Abbas, surat ini merupakan
pengabaran tentang kedekatan ajal beliau. Ternyata jalan pikiran Ibnu
Abbas ini cocok dengan jalan pikiran Umar sendiri. Hanya mereka ber-dua
yang memahami seperti ini, sekalipun Ibnu Abbas adalah orang yang paling
muda di antara para shahabat yang ada pada waktu itu. Dari sisi mana
surat ini bisa dipahami sebagai pengabaran tentang ajal beliau yang sudah
dekat kalau bukan karena pemahaman yang sifatnya khusus?
Tingkatan Keenam:
Penjelasan secara umum. Artinya, penjelasan tentang kebenaran dan
kemampuan untuk membedakannya dari yang batil, berdasarkan dalil,
bukti dan saksi-saksi penguat, sehingga lalu berubah seperti sebuah
kenyataan di dalam hati, seperti sebuah kenyataan yang tampak jelas di
depan mata kepala. Tingkatan ini merupakan hujjah Allah atas makhluk-Nya.
Dia tidak mengadzab dan tidak menyesatkan seseorang kecuali sete-lah orang
tersebut mendapatkan kejelasan ini. Firman-Nya,
وَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُـضِلَّ قَوۡمًۢا بَعۡدَ اِذۡ هَدٰٮهُمۡ حَتّٰى يُبَيِّنَ لَهُمۡ مَّا يَتَّقُوۡنَ
"Dan, Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah
Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada
mereka apa yang harus dijauhi." (At-Taubah: 115).
Kesesatan ini merupakan hukuman bagi mereka yang datangnya
dari Allah, karena Dia telah menjelaskan kepada mereka, namun mereka
tidak mau menerima dan tidak mengamalkannya. Maka Allah menghu-
kum mereka dengan cara menyesatkannya dari petunjuk. Jadi, Allah sama
sekali tidak menyesatkan seseorang kecuali setelah ada penjelasan ini.
Jika engkau sudah memahami hal ini, tentu engkau bisa memahami rahasia takdir, sehingga engkau tidak terasuki sekian banyak keragu-raguan dan
syubhat tentang masalah ini.
Penjelasan ini ada dua macam: Penjelasan dengan ayat-ayat yang bisa
didengar, dan penjelasan dengan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) yang
bisa dilihat mata. Keduanya merupakan bukti dan penjelasan tentang
keesaan Allah dan kesempurnaan sifat-sifat-Nya. Karena itu Allah menyeru
hamba-hamba-Nya lewat ayat-ayat-Nya yang bisa dibaca agar memikirkan
tanda-tanda kekuasaan-Nya yang bisa dilihat mata. Karena penjelasan
inilah para rasul diutus dan pengemban sesudah para nabi adalah para
ulama. Setelah ada penjelasan itu, maka Allah menyesatkan siapa pun yang
dikehendaki-Nya. Allah menjelaskan, dan Allah menyesatkan siapa yang
dikehendaki-Nya serta memberikan petunjuk kepada siapa pun yang
dikehendaki-Nya berdasarkan hikmah-Nya.
Tingkatan Ketujuh:
Penjelasan bersifat khusus. Maksudnya penjelasan yang mendatang-kan
petunjuk khusus, atau penjelasan yang disusul dengan pertolongan, taufik
dan pengenyahan sebab-sebab kehinaan dari hati, sehingga dia tidak
kehilangan hidayah. Allah befirman,
إِن تَحْرِصْ عَلَىٰ هُدَىٰهُمْ فَإِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى مَن يُضِلُّ
"Jika kamu sangat mengharapkan agar mereka dapat petunjuk, maka
sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang yang
disesatkan-Nya." (An-Nahl: 37).
إِنَّكَ لَا تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهْدِى مَن يَشَآءُ
"Sesungguhnya kami tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang
yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya." (Al-Qashash: 56).
Tingkatan Kedelapan:
Lewat pendengaran. Allah befirman,
وَلَوْ عَلِمَ ٱللَّهُ فِيهِمْ خَيْرًا لَّأَسْمَعَهُمْ
"Kalau sekiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentu-
lah Allah menjadikan mereka dapat mendengar." (Al-Anfal: 23)
Memperdengarkan di sini lebih khusus daripada memperdengarkan
hujjah dan tabligh, sebab yang demikian itu berangkat dari diri mereka sendiri
dan karenanya Allah menegakkan hujjah atas mereka. Yang demikian itu
berarti memperdengarkan telinga, sedangkan yang ini memperdengarkan
hati. Perkataan mempunyai lafazh dan makna, yang berkaitan dengan
telinga dan hati. Mendengarkan lafazh merupakan bagian telinga,
sedangkan mendengarkan hakikat makna dan tujuannya merupakan
bagian hati. Allah meniadakan pendengaran maksud dan tujuan yang
merupakan bagian hati dari orang-orang kafir, dan hanya menetapkan
pendengaran lafazh-lafazh yang merupakan bagian telinga.
Perbedaan antara tingkatan ini dengan tingkatan pemahaman, bahwa
tingkatan ini diperoleh lewat sarana telinga, sedangkan tingkatan
pemahaman sifatnya lebih umum. Jadi tingkatan ini lebih khusus daripada
tingkatan pemahaman, jika dilihat dari sisi ini. Tapi tingkatan pemahaman
juga bisa lebih khusus jika dilihat dari sisi yang lain lagi, yaitu karena ia
berkaitan dengan makna yang dimaksudkan, kaitan dan isyarat-nya. Inti
tingkatan mendengar ialah penyampaian maksud ke hati, yang berarti
harus ada penerimaan pendengaran. Berarti dalam tingkatan ini ada tiga
tingkatan lain: Telinga yang mendengar, hati yang mendengar dan
penerimaan atau pemenuhan.
Tingkatan Kesembilan:
Ilham. Allah befirman,
وَنَفْسٍ وَم فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَىٰهَا
"Demi jiwa dan penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya."
(Asy-Syams: 7-8).
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada Hushain bin Al-
Mundzir saat dia masuk Islam,
قل اللهم ألهمني بالهدى و
احميني من شر نفسي.
"
Katakanlah, 'Ya Allah, ilhamkanlah kepadaku petunjukku dan
lindungilah aku dari kejahatan diriku."
Pengarang Manazilus-Sa'irin (Abu Ismail) menganggap ilham ini sama
kedudukannya dengan bisikan di dalam hati. Jadi ilham lebih tinggi dari-
pada firasat. Sebab boleh jadi firasat itu jarang-jarang terjadi atau bersifat
insidental dan pelakunya tidak bisa menentukan kapan waktunya atau
bahkan ia bisa mengecohnya. Sementara kedudukan ilham sudah jelas.
Saya katakan, bisikan di dalam hati lebih khusus daripada ilham. Ilham
bersifat umum bagi orang-orang Mukmin, tergantung pada iman mereka.
Setiap orang Mukmin mendapat ilham petunjuk dari Allah, yang
menghasilkan keimanan kepada-Nya. Sedangkan bisikan dalam hati ha-nya
dikhususkan bagi orang-orang yang memang mendapatkannya, se-perti
Umar bin Al-Khaththab. Jadi bisikan hati ini merupakan ilham khusus, atau
bisa dikatakan wahyu yang diberikan kepada selain para nabi, baik mukallaf
atau bukan mukallaf. Wahyu yang diberikan kepada mukallaf seperti firman
Allah,
˶وَأَوْحَيْنَآ إِلَىٰٓ أُمِّ مُوسَىٰٓ أَنْ أَرْضِعِيهِ
"Dan, Kami ilhamkan kepada ibu Musa, 'Susuilah dia'." (Al-Qashash:7).
Wahyu yang diberikan kepada yang bukan mukallaf,
وَاَوۡحٰى رَبُّكَ اِلَى النَّحۡلِ اَنِ اتَّخِذِىۡ مِنَ الۡجِبَالِ بُيُوۡتًا وَّمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعۡرِشُوۡنَۙ
"Dan, Rabbmu mewahyukan kepada lebah, 'Buatlah sarang-sarang di
bukit-bukit, di pohon-pohon kayu dan di tempat-tempat yang dibikin
manusia'."(An-Nahl: 68).
Jika ilham ini dianggap lebih tinggi daripada kedudukan firasat,
maka justru bisa melemahkan anggapan itu sendiri. Sebab seperti yang
sudah dikatakan di atas, firasat itu jarang-jarang terjadinya. Sementara
sesuatu yang jarang-jarang terjadi tidak mempunyai hukum. Jelasnya
tentang masalah ini, masing-masing dari firasat dan ilham dibagi menjadi
umum dan khusus. Yang khusus pada masing-masing lebih tinggi dari yang
umum pada selainnya. Tapi perbedaan yang jelas di antara kedua-nya,
firasat lebih berkaitan dengan satu jenis tindakan atau perbuatan,
sedangkan ilham murni pemberian, yang tidak bisa diperoleh dengan
tindakan atau usaha tertentu.
Tingkatan Kesepuluh:
Mimpi yang benar, yang merupakan satu bagian dari nubuwah, seperti
yang dikabarkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,
الحلم الحقيقي جزء من الستين والأربعين
جزء من النبوءة
"Mimpi yang benar itu merupakan satu bagian dari empat puluh enam
bagian dari nubuwah."
Tapi dalam riwayat lain yang shahih disebutkan merupakan satu
bagian dari tujuh puluh bagian dari nubuwah. Yang pasti, mimpi meru-
pakan permulaan wahyu. Kebenarannya tergantung kepada orang yang
bermimpi, dan mimpi yang paling benar ialah mimpinya orang yang per-
kataannya paling benar dan jujur. Jika kiamat sudah dekat, maka hampir
tidak ada mimpi yang meleset, karena jaraknya yang jauh dari masa nubu-
wah. Sementara pada masa nubuwah tidak membutuhkan mimpi-mimpi
yang benar ini, karena sudah ada kekuatan cahaya nubuwah.
Kebalikan dari mimpi yang benar ini adalah karamah yang muncul
setelah masa shahabat, namun tidak muncul pada masa dekatnya hari
kiamat. Hal ini disebabkan kuat dan lemahnya iman. Begitulah yang dite-
gaskan Al-Imam Ahmad.
Ubadah bin Ash-Shamit berkata, "Mimpi orang Mukmin merupa-
kan perkataan yang disampaikan Allah kepada hamba-Nya ketika dia ti-
dur."
Mimpi itu layaknya suatu pengungkapan, di antaranya ada yang
berasal dari Allah, ada yang berasal dari kejiwaan dan ada yang berasal
dari syetan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
الأحلام ثلاثة أنواع: أحلام من الله ، وأحلام حزينة من إبليس
والأحلام التي جلبت الهمس إلى قلبه عندما
مستيقظا ، ثم يحلم به في نومه
"Mimpi itu ada tiga macam: Mimpi dari Allah, mimpi sedih dari syetan
dan mimpi yang terbawa bisikan seseorang ke dalam hatinya saat
terjaga, lalu dia memimpikannya saat tidur."
Mimpi yang menjadi sebab hidayah adalah mimpi yang secara khu-
sus datangnya dari Allah. Sementara mimpi para nabi sama dengan wahyu,
karena mimpi mereka terlindung dari syetan. Begitulah kesepakatan umat.
Karena itu Al-Khalil Ibrahim hendak menyembelih putranya, sekalipun
itu bermula dari perintah dalam mimpi yang beliau alami. Sedangkan
mimpi selain para nabi, bisa dilaksanakan seperti halnya wahyu yang jelas,
jika memang tepat. Jika tidak, maka tidak perlu diamalkan. Lalu apa ko-
mentar kalian tentang mimpi yang benar? Jika mimpi itu mimpi yang
benar, maka ia tidak akan bertentangan dengan wahyu. Siapa yang ingin
agar mimpinya benar, maka hendaklah dia terus-menerus menjaga keju-
jurannya, memakan yang halal, menjaga perintah dan larangan, tidur
dalam keadaan suci, menghadap ke arah kiblat, menyebut asma Allah
hingga matanya terlelap. Jika dia berbuat seperti ini, hampir pasti mimpi-
nya bukan mimpi yang dusta.
Mimpi yang paling benar adalah mimpi pada waktu sahur, karena
itulah waktu turunnya wahyu, rahmat, ampunan dan saat syetan me-
nyingkir jauh. Sebaliknya, mimpi pada permulaan malam adalah mimpi
yang banyak ditebari syetan dan ruh-ruh syetan.
Kemujaraban Al-Fatihah Yang Mengandung Kesembuhan
bagi Hati dan Kesembuhan bagi Badan
Kandungan Al-Fatihah yang mampu menyembuhkan hati meru-
pakan kandungannya yang paling komplit. Sumber penyakit hati dan
deritanya ada dua macam: Ilmu yang rusak dan tujuan yang rusak. Dari
dua sumber ini muncul dua penyakit lain: Kesesatan dan kemarahan.
Kesesatan merupakan akibat dari ilmu yang rusak, sedangkan kemarahan
merupakan akibat dari tujuan yang rusak. Dua jenis penyakit ini merupakan
inti dari semua jenis penyakit hati. Hidayah ke jalan yang lurus men-jamin
kesembuhan dari penyakit kesesatan. Karena itu memohon hidayah ini
merupakan doa yang paling wajib bagi setiap hamba, yang juga diwa-
jibkan atas dirinya setiap malam dan siang, dalam setiap shalat dan saat
terdesak keperluan.
Sedangkan penegasan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in secara ilmu dan
ma'rifat, amal dan kondisional, menjamin kesembuhan dari penya-kit hati
dan tujuan yang rusak. Sebab tujuan yang rusak ini berkaitan dengan
sasaran dan sarana. Siapa yang mencari tujuan yang pasti akan ter-putus
dan fana, menggunakan berbagai macam sarana untuk dapat me-raihnya,
maka hal itu justru akan menjadi beban baginya dan tujuannya jelas salah.
Inilah keadaan setiap orang yang tujuannya untuk mendapatkan hal-hal
selain Allah dari kalangan orang-orang musyrik, orang-orang yang hanya
ingin memuaskan nafsunya, para tiranyang menopang kekuasaannya dengan
segala cara, tak peduli benar maupun batil. Jika ada kebenaran yang
menghambat jalan kekuasaannya, maka mereka mendepaknya. Jika tidak
mampu mendepaknya, mereka akan menepis kebenaran itu, layaknya
pemelihara sapi yang menyingkirkan sampah di kandang. Jika mereka
tidak bisa melakukannya, mereka menghentikan langkah di jalan itu lalu mencari jalan lain. Dengan cara apa pun mereka siap menolaknya. Jika ada
kebenaran yang mendukung kekuasaan, mereka mendukungnya, bukan
karena itu merupakan kebenaran, tapi karena kebenaran itu yang kebetulan
sejalan dengan tujuan dan nafsunya.
Karena tujuan dan sarana yang dipergunakan rusak, maka mereka
adalah orang-orang yang paling menyesal dan merugi, jika tujuan yang
mereka raih meleset. Merekalah orang-orang yang paling menyesal dan
merugi di dunia, yaitu jika kebenaran dikatakan benar dan kebatilan dika-
takan batil. Yang demikian ini seringkali terjadi di dunia. Penyesalan ini
akan semakin nyata tatkala mereka meninggal dunia dan menghadap
Allah serta berada di alam Barzakh.
Begitu pula orang yang mencari tujuan yang tinggi dan sasaran yang
mulia, namun tidak menggunakan sarana yang mendukungnya untuk
meraih tujuan itu, dia hanya mendugaduga sarana yang digunakannya itu
akan mendukungnya. Keadaan orang ini tak jauh berbeda dengan orang
yang pertama. Dia tidak akan mendapatkan kesembuhan dari penyakit ini kecuali dengan obat iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in.
Obat ini mempunyai empat komposisi: Ibadah kepada Allah, perintah
dan larangan-Nya, memohon pertolongan dengan beribadah kepada-Nya,
tidak dengan hawa nafsu, tidak dengan pendapat manusia dan
pemikirannya, tidak dengan diri manusia dan kekuatannya. Inilah unsur-
unsur yang terkandung di dalam obat iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in. Jika
unsur-unsur ini diramu oleh seorang dokter yang berpengalaman, tentu
akan menjadi obat yang sangat mujarab.
Hati itu mudah terjangkiti dua macam penyakit yang kronis. Jika
seseorang tidak mengobatinya, tentu dia akan binasa, yaitu riya' dan taka-bur.
Obat riya adalah iyyaka na'budu, sedangkan obat takabur adalah iyyaka
nasta'in. Seringkali kami mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah
berkata, "Iyyaka na'budu menolak penyakit riya', dan iyyaka nasta'in
menolak penyakit takabur."
Jika seseorang diberi kesembuhan dari penyakit riya' dengan iyyaka
na'budu, diberi kesembuhan dari penyakit takabur dan ujub dengan iyyaka
nasta 'in, diberi kesembuhan dari penyakit kesesatan dan kebodohan dengan
ihdinash-shirathal-mustaqim, berarti dia telah diberi kesembuhan dari
segala macam penyakit. Namun di antara orang-orang yang menda-pat
kenikmatan juga ada yang mendapat murka. Mereka adalah orang-orang
yang tujuannya rusak, yang sebenarnya mengetahui kebenaran namun
menyimpanginya. Ada pula di antara mereka yang adh-dhallin (sesat),
yaitu mereka yang memiliki ilmu yang rusak dan tidak mengetahui
kebenaran.
Tentang surat Al-Fatihah yang mengandung obat bagi penyakit
badan, maka akan kami jelaskan seperti yang telah dijelaskan As-Sunnah
dan dikuatkan ilmu medis serta berdasarkan pengalaman. Di dalam Ash-
Shahih disebutkan dari hadits Abul-Mutawakkil An-Najy, dari Abu Sa'id
Al-Khudry, bahwa ada beberapa orang dari shahabat Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang melewati sebuah perkampungan Arab dalam per-
jalanannya. Para penduduk kampung itu tidak mau menerima mereka
sebagai tamu, apalagi menjamu. Pada saat yang sama pemimpin mereka
disengat hewan. Maka penduduk kampung mendatangi mereka dan ber-
tanya, "Adakah kalian mempunyai mantera atau adakah di antara kalian
yang bisa menyembuhkan dengan mantera?"
"Ya, ada. Tapi karena kalian tidak mau menjamu kami, maka kami
tidak mau mengobati kecuali jika kalian memberikan imbalan kepada
kami."
Maka penduduk kampung itu sepakat untuk memberikan beberapa
ekor kambing. Maka setiap orang di antara para shahabat itu memba-cakan
Al-Fatihah. Seketika itu pula pemimpin kampung itu bangkit, se-akan-
akan sebelumnya dia tidak pernah sakit. Kami berkata, "Janganlah kalian
terburu-buru menerima imbalan ini sebelum kita menemui Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam."
Setelah bertemu beliau, mereka menceritakan kejadian ini. Beliau
bersabda, "Apa pendapat kalian kalau memang Al-Fatihah itu benar-benar
merupakan ruqyah? Terimalah imbalan itu dan sisihkan bagianku."
Hadits ini menjelaskan keampuhan Al-Fatihah yang bisa menyem-
buhkan sengatan hewan, sehingga ia berfungsi sebagaimana obat, atau
bahkan lebih mujarab daripada obat itu sendiri. Padahal orang yang di-
sembuhkan itu tidak terlalu tepat untuk disembuhkan dengan cara terse-
but, entah karena penduduk kampung itu bukan orang Muslim atau karena
mereka orang-orang yang kikir. Lalu bagaimana jika yang disembuhkan
tidak seperti mereka?
Sedangkan dari teori medis, dapat dibuktikan sebagai berikut, bahwa
sengatan itu berasal dari hewan yang mempunyai racun, yang berarti
mempunyai jiwa yang kotor dan terbentuk karena amarah, lalu menyalur-
kan unsur racun yang panas lewat sengatan itu. Jika jiwa yang kotor ini
terbentuk bersamaan dengan terbentuknya kemarahan, maka ia akan
merasa senang jika dapat menyalurkan racun ke tempat yang layak mene-
rimanya, sebagaimana orang jahat yang merasa senang jika dapat me-
nyalurkan kejahatannya terhadap orang yang layak menerimanya. Bah-
kan dia merasa tersiksa jika tidak bisa menyalurkan kejahatannya itu
kepada seseorang.
Prinsip penyembuhan ialah dengan menggunakan kebalikannya dan
menjaga dengan sesuatu yang serupa. Kesehatan dijaga dengan sesuatu
yang serupa dan penyakit disembuhkan dengan kebalikannya. Ini
merupakan hukum sebab-akibat yang sudah diatur sedemikian rupa oleh
Allah Yang Maha Bijaksana. Namun hal ini tidak akan berhasil kecuali de-
ngan kekuatan jiwa pelakunya dan reaksi penerimanya. Jika jiwa orang
yang disengat tidak layak menerima ruqyah itu dan jiwa yang membaca-kan
ruqyah tidak mampu memberikan pengaruh apa-apa, maka kesem-buhan
tidak akan berhasil.
Jadi di sini ada tiga unsur: Kesesuaian obat dengan penyakit, ke-
sungguhan orang yang mengobati dan orang yang diobati bisa meneri-
manya. Jika tidak ada kelaikan pada salah satu unsur ini, maka kesem-
buhan tidak akan terjadi.
Siapa yang bisa memahami hal ini, tentu dia bisa memahami rahasia
ruqyah tersebut, bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang tidak
bermanfaat dan bisa mencocokkan obat dengan penyakit yang hendak
diobati, seperti penggunaan pedang untuk memotong barang yang
memang bisa dipotong dengan pedang itu.
Sedangkan dari kesaksian pengalaman, maka cukup banyak orang
yang mengalaminya. Saya sendiri pernah mempunyai pengalaman dalam
penggunaan Al-Fatihah sebagai ruqyah ini dengan hasil yang benar-benar
menakjubkan, terutama pada saat-saat saya menetap di Makkah. Suatu saat
saya sakit yang benar-benar amat menyiksa, hingga hampir-hampir saya
tidak bisa menggerakkan badan karenanya. Padahal saat itu saya harus
mengerjakan thawaf dan lain-lainnya. Maka saya segera membaca Al-
Fatihah, lalu mengusapkan telapak tangan ke bagian-bagian tubuh yang sakit.
Seakan-akan dari bagian yang sakit itu ada kerikil yang jatuh. Pengalaman
seperti ini tidak terjadi hanya sekali saja, tapi beberapa kali. Pernah juga
saya mengambil air Zamzam lalu membacakan Al-Fatihah pada air itu dan
saya meminumnya. Hasilnya, saya merasa mendapat kekuatan baru yang
tidak pernah kurasakan yang seperti itu. Tentu saja semua ini harus didasari
kekuatan iman dan keyakinan yang benar.
Al-Fatihah Mencakup Bantahan terhadap Semua Golongan Yang Batil, Bid'ah dan Sesat
Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara: Global dan terinci. Secara
global dapat diketahui bahwa ash-shirathul-mustaqim mencakup penge-
tahuan tentang kebenaran, memprioritaskan kebenaran daripada yang lain,
mencintai, menyeru dan memerangi musuh-musuh kebenaran me-nurut
kesanggupan. Kebenaran di sini adalah apa yang dibawa Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabat, seperti ilmu dan amal
tentang sifat Allah, asma', perintah, larangan, janji, ancaman dan haki-kat hakikat iman, yang semuanya merupakan etape orang-orang yang berjalan
kepada Allah. Semua masalah ini diserahkan kepada beliau dan bukan
kepada pendapat dan pemikiran manusia. Jadi tidak dapat diragu-kan
bahwa ilmu dan amal yang ada pada diri Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam dan para shahabat adalah pengetahuan tentang kebenaran, yang
harus diprioritaskan daripada yang lain. Inilah yang disebut ash-shirathul-
mustaqim. Dengan cara yang global ini dapat diketahui bahwa siapa pun
yang bertentangan dengan jalan ini adalah batil, atau merupa-kan satu
jalan dari dua jenis golongan: Golongan yang mendapat murka dan
golongan yang sesat.
Adapun dengan cara yang rinci, maka kita perlu mengetahui satu
persatu setiap madzhab yang batil. Namun yang pasti, setiap kalimat Al-
Fatihah mencakup penjelasan tentang kebatilannya.
Manusia secara umum dapat dibagi menjadi dua macam: Golongan
yang mengakui kebenaran dan golongan yang mengingkari kebenaran.
Sementara Al-Fatihah mencakup penetapan adanya Khaliq dan penolak-an
orang yang mengingkari keberadaan-Nya, yaitu dengan penetapan
Rububiyah-Nya atas semesta alam. Perhatikanlah semua benda alam, baik
alam atas maupun alam bawah, tentu engkau akan melihat bukti ke-
beradaan Sang Pencipta. Keberadaan Allah ini lebih nyata bagi akal dan
fitrah daripada keberadaan sungai yang mengalir. Siapa yang tidak mem-
punyai pandangan seperti ini dalam akal dan fitrahnya, berarti harus
dipertanyakan, adakah sesuatu yang tidak beres pada akalnya?
Seiring dengan kebatilan orang-orang yang mengingkari keberadaan
Allah, batil pula pendapat orang-orang yang mengatakan tentang
wahdatul-wujud (kesatuan wujud), bahwa wujud alam ini juga merupa-kan
wujud Allah dan Allah merupakan hakikat wujud alam ini. Jadi menu-rut
mereka tidak ada lagi istilah Rabb dan hamba, penguasa dan yang
dikuasai, pengasih dan yang dikasihi, pemberi pertolongan dan yang me-
minta pertolongan, pemberi petunjuk dan yang diberi petunjuk, pemberi
nikmat dan yang diberi nikmat, sebab Allah adalah hamba itu sendiri,
yang disembah adalah yang menyembah itu sendiri. Perbedaan wujud
hanya sekedar masalah relatifitas yang bergantung kepada fenomena dzat
dan penampakannya, sehingga terkadang bisa berwujud seorang hamba
biasa, terkadang berwujud Fir'aun, pemberi petunjuk, nabi, rasul, ulama
dan lain sebagainya. Sekalipun berbeda-beda, semua berasal dari satu inti,
bahkan Allah adalah inti itu sendiri.
Surat Al-Fatihah, semenjak pertama hingga akhirnya menjelaskan
kebatilan dan kesesatan golongan ini.
Orang-orang yang menetapkan adanya Khaliq ada dua macam:
1. Golongan yang mengesakan Khaliq atau ahli tauhid.
2. Golongan yang menyekutukan Khaliq atau ahli syirik.
Ahli syirik ada dua macam:
1. Orang-orang yang menyekutukan Rububiyah dan Uluhiyah-Nya, se-
perti orang-orang Majusi dan yang serupa dengan mereka dari golongan
Qadariyah. Mereka menetapkan adanya pencipta Allah yang menyertai
Allah, sekalipun mereka tidak mengatakan adanya kesetaraan di antara
keduanya. Golongan Qadariyah Majusi menetapkan adanya para
pencipta perbuatan di samping Allah. Perbuatan ini di luar ke-hendak
Allah dan Allah tidak mempunyai kekuasaan terhadapnya, tapi para
pencipta selain-Nya itulah yang menjadikan diri mereka bisa berbuat
dan berkehendak. Di dalam Iyyaka na'budu terkandung sanggahan
terhadap pendapat mereka. Sebab pertolongan yang mereka mohonkan
kepada-Nya berarti mengharapkan sesuatu yang ada di Ta-ngan Allah
dan ada dalam kekuasaan serta kehendak-Nya. Lalu bagaimana mungkin
orang yang katanya mampu berbuat, tapi dia masih meminta
pertolongan?
2. Orang-orang yang menyekutukan Uluhiyah-Nya. Mereka mengatakan
bahwa hanya Allah penguasa dan pencipta segala sesuatu, bahwa Allah
adalah Rabb mereka dan bapak-bapak mereka semenjak dahulu. Tetapi
sekalipun begitu mereka masih menyembah selain-Nya, mencintai dan
mengagungkannya. Mereka menciptakan tandingan bagi Allah. Mereka
tidak menetapi hak iyyaka na'budu. Sekalipun memang mereka na'buduka
(kami menyembah-Mu), tapi mereka tidak murni dalam iyyaka na'budu,
yang mengandung pengertian: Kami tidak menyembah kecuali Engkau
semata, dengan penuh kecintaan, harapan, ketakutan, ketaatan dan
pengagungan. Iyyaka na'budu merupakan penge-jawantahan dari tauhid
dan peniadaan syirik dalam Uluhiyah, seba-gaimana iyyaka nasta'in
merupakan pengejawantahan dalam tauhid Rububiyah dan peniadaan
syirik dalam Rububiyah.
Surat Al-Fatihah juga mengandung sanggahan terhadap pendapat
berbagai golongan yang menyimpang dan sesat, seperti:
1. Al-Jahmiyah yang meniadakan sifat-sifat Allah.
2. Al-Jabariyah yang meniadakan pilihan dan kehendak bagi manusia,
yang segala sesuatu pada diri manusia berdasarkan kehendak Allah.
3. Golongan yang menetapkan perbuatan Allah pada hal-hal yang pasti dan
Dia tidak mempunyai pilihan serta kehendak.
4. Golongan orang-orang yang mengingkari keterkaitan ilmu-Nya dengan
hal-hal parsial.
5. Golongan orang-orang yang mengingkari nubuwah.
6. Golongan yang mengatakan tentang keberadaan alam semenjak dahulu kala.
7. Ar-Rafidhah yang menganggap hanya keturunan Rasulullah yang benar,
sedangkan selain mereka tidak benar dan tidak akan masuk surga,
sekalipun itu semacam shahabat Abu Bakar.
Cakupan Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in terhadap
Makna-makna Al-Qur'an, Ibadah dan Isti'anah
Rahasia penciptaan, perintah, kitab-kitab, syariat, pahala dan siksa
terpusat pada dua penggal kalimat ini, yang sekaligus merupakan inti
ubudiyah dan tauhid. Sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa Allah
menurunkan seratus empat kitab, yang makna-maknanya terhimpun da-
lam Taurat, Injil dan Al-Qur'an. Makna-makna tiga kitab ini terhimpun di
dalam Al-Qur'an. Makna-makna Al-Qur'an terhimpun dalam surat-surat
yang pendek. Makna-makna dalam surat-surat yang pendek terhimpun
dalam surat Al-Fatihah. Makna-makna Al-Fatihah terhimpun di dalam
iyyaka na'budu wa iyya-ka nasta'in. Dua kalimat ini dibagi antara milik
Allah dan milik hamba-Nya. Separoh bagi Allah, yaitu iyyaka na'budu,
dan separoh lagi bagi hamba-Nya, yaitu iyyaka nasta'in.
Ibadah mengandung dua dasar: Cinta dan penyembahan. Menyem-
bah di sini artinya, merendahkan diri dan tunduk. Siapa yang mengaku
cinta namun tidak tunduk, berarti bukan orang yang menyembah. Siapa
yang tunduk namun tidak cinta, juga bukan orang yang menyembah. Dia
disebut orang yang menyembah jika cinta dan tunduk. Karena itu orang-
orang yang mengingkari cinta hamba terhadap Allah adalah orang-orang
yang mengingkari hakikat ubudiyah dan sekaligus mengingkari
keberadaan Allah sebagai Dzat yang mereka cinta, yang berarti mereka
juga mengingkari keberadaan Allah sebagai Ilah (sesembahan), sekalipun
mereka mengakui Allah sebagai penguasa semesta alam dan pencipta-nya.
Inilah tauhid mereka yang terbatas pada tauhid Rububiyah, seperti
pengakuan bangsa Arab, tapi mereka tidak keluar dari syirik, sebagaimana
firman Allah,
وَلَىِٕنْ سَاَلْتَهُمْ مَّنْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ لَيَقُوْلُنَّ اللّٰهُ
"Dan, sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, 'Siapakah yang
menciptakan langit dan bumi?' niscaya mereka menjawab, 'Allah'."
(Az-Zumar; 38).
Isti'anah (memohon pertolongan) menghimpun dua dasar: Keper-
cayaan terhadap Allah dan penyandaran kepada-Nya. Adakalanya seorang
hamba menaruh kepercayaan terhadap seseorang, tapi dia tidak menyan-
darkan semua urusan kepadanya, karena dia merasa tidak membutuhkan
dirinya. Atau adakalanya seseorang menyandarkan berbagai urusan kepada
seseorang, padahal sebenarnya dia tidak percaya kepadanya, karena dia merasa membutuhkannya dan tidak ada orang lain yang memenuhi
kebutuhannya. Karena itu dia bersandar kepadanya.
Tawakal merupakan makna yang juga cocok dengan dua dasar ini,
kepercayaan dan penyandaran, yang sekaligus merupakan hakikat iyyaka
na'budu wa iyyaka nasta'in. Dua dasar ini, tawakal dan ibadah disebut-kan
di beberapa tempat dalam Al-Qur'an, yang keduanya disebutkan secara
berurutan, di antaranya,
وَلِلّٰهِ غَيۡبُ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضِ وَاِلَيۡهِ يُرۡجَعُ الۡاَمۡرُ كُلُّهٗ فَاعۡبُدۡهُ وَتَوَكَّلۡ عَلَيۡهِ
"Dan, kepunyaan Allahlah apa yang gaib di langit dan di bumi dan ke-
pada-Nyalah dikembalikan semua urusan, maka sembahlah Dia dan
bertawakallah kepada-Nya." {Hud: 123).
"Ibadah" didahulukan daripada "Isti'anah" di dalam Al-Fatihah me-
rupakan gambaran didahulukannya tujuan daripada sarana. Hal ini bisa
dilihat dari beberapa sebab:
1. "Ibadah" merupakan tujuan penciptaan hamba, sedangkan "Isti'anah"
merupakan sarana untuk dapat melaksanakan "Ibadah" itu.
2. Iyyaka na'budu berkaitan dengan Uluhiyah-Nya dan asma "Allah".
Sedangkan iyyaka nasta'in berkaitan dengan Rububiyah-Nya dan asma
"Ar-Rabb". Karena itu iyyaka na'budu didahulukan daripada iyyaka nas-
ta'in, sebagaimana asma Allah yang didahulukan daripada asma Ar-
Rabb di awal Al-Fatihah.
3. Iyyaka na'budu merupakan bagian Allah dan juga merupakan pujian
terhadap Allah, karena memang Dia layak menerimanya, sedangkan
iyyaka nasta'in merupakan bagian hamba, begitu pula ihdinash-shirath-al-
mustaqim hingga akhir surat.
4. "Ibadah" secara total mencakup "Isti'anah" dan tidak bisa dibalik. Se-tiap
orang yang beribadah kepada Allah dengan ibadah yang sempurna
adalah orang yang memohon pertolongan kepada-Nya, dan tidak bisa
dibalik. Sebab orang yang dikuasai berbagai macam tujuan pribadi dan
syahwatnya, juga bisa memohon pertolongan kepada-Nya, hanya karena
ingin memuaskan nafsunya. Karena itu ibadah harus lebih sempurna.
Berarti "Isti'anah" merupakan bagian dari "Ibadah" dan tidak bisa
dibalik, sebab "Isti'anah" merupakan permohonan dari-Nya, sedang
"Ibadah" merupakan permohonan bagi-Nya.
5. "Ibadah" hanya dilakukan orang yang ikhlas, sedangkan "Isti'anah" bisa
dilakukan orang yang ikhlas dan yang tidak ikhlas.
6. "Ibadah" merupakan hak Allah yang diwajibkan kepada hamba, se-
dangkan "Isti'anah" merupakan permohonan pertolongan untuk dapat
melaksanakan "Ibadah".
7. "Ibadah" merupakan gambaran syukur terhadap nikmat yang dilimpahkan kepadamu, dan Allah suka untuk disyukuri. Pemberian perto-longan merupakan taufik Allah yang diberikan kepadamu. Jika engkau
komitmen dalam beribadah kepada-Nya dan ibadahmu lebih sempurna,
maka pertolongan Allah yang diberikan kepadamu juga lebih besar.
8. Iyyaka na'budu merupakan hak Allah dan iyyaka nasta'in merupakan
kewajiban Allah. Hak-Nya harus didahulukan daripada kewajiban-Nya.
Sebab hak Allah berkaitan dengan cinta dan ridha-Nya, sedangkan
kewajiban-Nya berkaitan dengan kehendak-Nya. Apa yang bergantung
kepada cinta-Nya harus lebih sempurna daripada apa yang bergantung
kepada kehendak-Nya. Semua yang ada di alam, para malaikat maupun
syetan, orang-orang Mukmin maupun orang-orang kafir, orang yang
taat maupun orang yang durhaka, semuanya bergantung kepada
kehendak-Nya. Apa yang bergantung kepada cinta-Nya adalah ketaatan
dan iman mereka. Orang-orang kafir ada dalam kehendak-Nya dan
orang-orang Mukmin ada dalam cinta-Nya.
Dari beberapa rahasia ini dapat diketahui secara jelas hikmah dida-
hulukannya iyyaka na'budu daripada iyyaka nasta'in.
Pembagian Manusia Berdasarkan KanIyyakaNa'budu Na'budu wa Iyyaka Nasta'in
Jika engkau sudah mengetahui secara jelas masalah ini, maka ber-
dasarkan dua dasar (Ibadah dan isti'anah) manusia bisa dibagi menjadi
empat golongan:
1. Ahli ibadah dan isti'anah kepada Allah. Mereka merupakan golongan
yang paling mulia dan paling tinggi. Ibadah kepada Allah merupakan
tujuan mereka, dan mereka pun memohon agar Allah menolong dan
memberikan taufik, sehingga mereka dapat melaksanakan ibadah itu.
Karena itu permohonan paling utama yang disampaikan kepada Allah
ialah pertolongan menurut keridhaan-Nya, seperti yang diajarkan Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada orang yang beliau cintai, Mu'adz
bin Jabal Radhiyallahu Anhu. Beliau bersabda, "Wahai Mu'adz, demi
Allah, aku benar-benar mencintaimu. Maka janganlah engkau lalai
untuk mengucapkan seusai setiap shalat, 'Ya Allah, tolonglah aku untuk
menyebut nama-Mu, bersyukur dan beribadah secara baik kepada-
Mu'."
2. Orang-orang yang tidak mau beribadah dan tidak mau memohon per-
tolongan kepada-Nya. Mereka tidak mengenal ibadah dan isti'anah. Ini
kebalikan dari golongan yang pertama. Bahkan jika salah seorang di
antara mereka memohon kepada-Nya, maka hal itu dimaksudkan untuk
memuaskan nafsunya, bukan berdasarkan keridhaan dan hak-Nya.
Semua yang ada di langit dan di bumi memohon kepada-Nya. Bahkan
makhluk yang paling dibenci Allah dan musuh-Nya, Iblis, ma-sih sempat
memohon kepada Allah dan Allah pun memenuhinya. Tapi karena apa yang dimohon itu bukan untuk mendapatkan keridhaan-Nya, maka ia
semakin menambah penderitaan, kesengsaraan dan dia semakin jauh
dari Allah. Begitulah keadaan setiap orang yang memohon pertolongan
kepada Allah, namun tidak dimaksudkan untuk menambah ketaatan
kepada-Nya, sehingga dia menjadi budak dari apa yang dimintanya.
Hendaklah diketahui, bahwa kalaupun Allah memenuhi permintaan
orang yang meminta kepada-Nya, bukan karena ada kemuliaan pada
diri orang yang meminta itu. Hamba meminta kepada-Nya dan Allah
memenuhinya, padahal permintaannya itu boleh jadi menjadi sumber
kehancuran dan penderitaannya, sehingga pemenuhan Allah ini justru
menjadi kehinaan baginya. Sebaliknya, tidak adanya pemenuhan Allah
atas permintaan hamba justru merupakan kemuliaan dan gambaran
cinta Allah kepadanya, perlindungan dan penjagaan Allah baginya dan
bukan merupakan gambaran kekikiran Allah. Tapi orang yang bodoh
akan mengira bahwa Allah tidak mencintai dan tidak pula
memuliakannya, sehingga dia berburuk sangka terhadap Allah. Pem-
berian dan pencegahan Allah merupakan ujian. Firman-Nya,
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ
وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
"Adapun manusia, apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya
dan diberikan-Nya kesenangan, maka dia berkata, 'Rabbku telah memu-
liakanku'. Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezkinya,
maka dia berkata, 'Rabbku menghinakanku'. Sekali-kali tidak
(demikian)."(Al-Fajr: 15-16).
Allah menyanggah dugaan orang, bahwa keluasan rezkiyang dilimpah-
kan-Nya merupakan kemuliaan dari-Nya, sedangkan kemiskinan
merupakan kehinaan dari-Nya, dengan befirman, "Aku tidak menguji
hamba-Ku dengan kekayaan karena dia mulia di Mata-Ku. Aku tidak
mengujinya dengan kemiskinan karena dia hina di Mata-Ku." Dia mem-
beritahukan bahwa kemuliaan dan kehinaan tidak berkisar pada ke-
luasan harta dan pembatasannya. Toh Allah menghamparkan harta
seluas-luasnya kepada orang kafir, bukan karena dia mulia, dan mem-
batasi harta pada orang Mukmin, bukan karena dia hina. Segala puji
bagi Allah atas semua ini, dan Dia Mahakaya lagi Maha Terpuji. Jadi
kebahagiaan dunia dan akhirat tetap kembali kepada iyyaka na'budu
wa iyyaka nasta'in.
3. Golongan orang yang memiliki sebagian ibadah tanpa menghendaki
isti'anah. Mereka ada dua kelompok: Pertama, golongan Qadariyah
yang berpendapat bahwa Allah telah melakukan apa yang ditetapkan-
Nya pada hamba dan Dia tidak perlu lagi memberikan pertolongan
kepada hamba, karena Allah telah menolongnya dengan mencipta-kan alat baginya, memperkenalkan jalan dan mengutus para rasul. Sehingga
setelah adanya pertolongan ini, hamba tidak perlu lagi memo-hon kepada-
Nya. Kedua, golongan yang beribadah namun tidak total dalam tawakal
dan memohon pertolongan kepada-Nya. Pandangan mereka tidak
mengaitkan orang yang bergerak kepada siapa yang meng-gerakkan, tidak
mengaitkan sebab kepada pembuat sebab, tidak mengaitkan alat kepada
pelaku.
4. Golongan yang mempersaksikan bahwa hanya AUahlah satu-satunya
yang memberikan manfaat dan mudharat. Apa pun yang dikehendaki-
Nya pasti akan terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan
terjadi, namun mereka tidak berbuat apa yang dicintai ddiridhai-NyaNya.
Seorang hamba tidak bisa mewujudkan iyyaka na'budu kecuali de-
ngan dua dasar: Mengikuti Rasulullah dan ikhlas terhadap Allah yang di-
sembah. Ditilik dari dua dasar ini, maka manusia bisa dibagi menjadi
empat golongan:
1. Orang-orang yang ikhlas karena Allah dan mengikuti Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam. Merekalah yang benar-benar menghayati iyyaka
na'budu. Semua perkataan dan perbuatan mereka karena Allah, mem-
beri karena Allah, menahan karena Allah, mencintai karena Allah,
membenci karena Allah. Mu'amalah mereka secara lahir dan batin karena
mengharap Wajah Allah semata, tidak dimaksudkan untuk mencari
imbalan, pujian, pengaruh, kedudukan dan simpati di hati manusia atau
pun menghindari celaan manusia. Bahkan mereka mengang-gap semua
manusia tak ubahnya mayat yang sudah mati, tidak bisa memberi
manfaat dan mudharat. Perbuatan yang dimaksudkan untuk
mendapatkan kedudukan, mengatur manfaat dan mudharat, sama sekali
tidak mereka kenal.
Maka Al-Fadhl bin Iyadh pernah berkata, "Amal yang baik ialah yang
paling ikhlas dan paling benar." Orang-orang bertanya, "Wahai Abu Ali,
apa yang dimaksudkan paling ikhlas dan paling benar itu?"
Dia menjawab, "Jika amal itu ikhlas namun tidak benar, maka ia tidak
diterima. Jika amal itu benar namun tidak ikhlas, maka ia tidak diteri-ma
pula, hingga ia ikhlas dan benar. Ikhlas artinya karena Allah. Benar
artinya berdasarkan As-Sunnah. Inilah yang dimaksudkan dalam firman
Allah,
قُلۡ اِنَّمَاۤ اَنَا بَشَرٌ مِّثۡلُكُمۡ يُوۡحٰٓى اِلَىَّ اَنَّمَاۤ اِلٰهُكُمۡ اِلٰـهٌ وَّاحِدٌ ۚ فَمَنۡ كَانَ يَرۡجُوۡالِقَآءَ رَبِّهٖ فَلۡيَـعۡمَلۡ عَمَلًا صَالِحًـاوَّلَايُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهٖۤ اَحَدًا
"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah
ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadah kepada Rabbnya." (Al-Kahfi: 110).
2. Orang yang tidak ikhlas dan tidak mengikuti As-Sunnah. Amalnya tidak
sejalan dengan syariat dan tidak pula ikhlas terhadap Allah yang di-
sembah, seperti perbuatan orang-orang yang ingin pamer di hadapan
manusia. Mereka adalah orang-orang yang paling buruk dan paling
dibenci Allah. Mereka inilah yang digambarkan dalam firman Allah
لَا تَحۡسَبَنَّ الَّذِيۡنَ يَفۡرَحُوۡنَ بِمَاۤ اَتَوْا وَّيُحِبُّوۡنَ اَنۡ يُّحۡمَدُوۡا بِمَا لَمۡ يَفۡعَلُوۡا فَلَا تَحۡسَبَنَّهُمۡ بِمَفَازَةٍ مِّنَ الۡعَذَابِۚ وَلَهُمۡ عَذَابٌ اَ لِيۡمٌ
"Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gem-
bira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya
dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan, janganlah
kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka
siksa yang pedih." (Ali Imran: 188).
3. Ikhlas dalam amalnya namun tidak mengikuti perintah dan As-Sunnah,
seperti yang dilakukan para ahli ibadah yang bodoh, mereka yang
cenderung kepada zuhud dan hidup miskin, orang-orang yang ber-
ibadah kepada Allah dengan cara yang tidak sesuai dengan perintah-Nya.
4. Amalnya sesuai dengan perintah dan As-Sunnah, tetapi untuk tujuan
selain Allah, seperti orang yang berjihad karena riya' dan memamer-kan
patriotismenya, menunaikan haji agar dia dipuji atau membaca Al-
Qur'an agar disanjung. Amal mereka secara zhahir sesuai dengan
perintah, tetapi tidak shalih.
Orang-orang yang mengamalkan iyyaka na'budu secara konsisten
memiliki sisi pandang yang berbeda tentang ibadah yang paling utama,
paling bermanfaat, paling layak untuk diprioritaskan. Dalam hal ini me-
reka ada empat pendapat:
1. Orang-orang yang menganggap ibadah yang paling baik dan utama
adalah yang paling sulit dan berat, karena ibadah semacam ini adalah
yang paling jauh dari hawa nafsu. Sementara menurut mereka, pahala
juga diukur dari kadar kesulitan ibadah. Mereka berpendapat kepada
hadits yang sama sekali tidak ada dasarnya, "Amal yang paling utama
adalah yang paling sulit atau berat."
Mereka adalah orang-orang yang memang rajin beribadah, namun
bertindak semena-mena terhadap diri sendiri. Orang-orang yang
menganggap ibadah paling utama adalah zuhud di dunia, meminimkan
andil dalam keduniaan dan tidak peduli terhadap kehidupan dunia.
2. Orang-orang yang menganggap ibadah paling utama adalah yang man-
faatnya merambah secara luas. Menurut mereka, menyantuni orang-
orang miskin, memenuhi kebutuhan orang banyak, membantu mereka
dengan tenaga dan harta adalah ibadah yang paling utama. Mereka
beralasan bahwa amal ahli ibadah hanya bagi dirinya sendiri, sedangkan
amal orang yang bisa memberi manfaat kepada orang lain bisa
dirasakan orang banyak, karena itu kelebihan orang yang berilmu atas ahli
ibadah seperti kelebihan rembulan atas seluruh bintang-gemin-tang.
Mereka juga berhuj jah dengan hadits-hadits tentang pahala yang
diberikan kepada pelaku kebaikan dan dia juga mendapatkan pahala
orang-orang yang mengikuti kebaikan yang dilakukannya itu.
3. Orang-orang yang menganggap ibadah paling utama adalah amal yang
dilakukan untuk mendapatkan ridha Allah, sesuai dengan timingnya dan
tugas yang memang harus dilaksanakannya. Ibadah yang paling utama
pada waktu jihad adalah berjihad, sekalipun harus meninggal-kan shalat
malam dan puasa, bahkan sekalipun dia harus meninggal-kan shalat
fardhu karena kondisi perang. Ibadah yang paling utama sewaktu ada
tamu yang datang ialah memenuhi hak-hak tamu. Ibadah yang paling
utama pada waktu sahur adalah mengerjakan shalat, mem-baca Al-Qur'an,
berdoa dan berdzikir. Begitu pula setiap ibadah yang disesuaikan dengan
situasi dan kondisinya, maka itulah ibadah yang paling utama.
4. Golongan yang keempat ini adalah ahli ibadah yang tak mengenal
batasan, sedangkan tiga golongan lain sebelumnya adalah ahli ibadah
yang terbatas. Jika salah seorang di antara tiga golongan ini keluar dari
jenis ibadah yang menjadi andalannya, maka dia menganggap ada yang
kurang dalam ibadahnya itu atau dia telah meninggalkan ibadahnya sama
sekali, karena dia beribadah kepada Allah dengan satu pola. Sementara
orang yang ibadahnya tidak mengenal batasan, tidak mementingkan satu
ibadah daripada yang lain. Tujuan yang diraihnya adalah keridhaan Allah,
di mana dan kapan pun dia berada. Dia selalu berpindah-pindah di ber-
bagai tempat ibadah. Jika engkau melihat para ulama, maka dia tampak
bersama mereka. Jika engkau melihat para ahli ibadah, dia tampak bersa-
ma mereka. Jika engkau melihat para mujahidin, dia tampak terlihat bersa-
ma mereka. Jika engkau melihat orang-orang yang mengeluarkan sha-
daqah, dia tampak bersama mereka. Inilah hamba yang tidak terikat dan
tidak memiliki gambar tertentu. Dialah orang yang mewujudkan makna
iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in secara konsekuen.
Bangunan Iyyaka Na'budu dan Keharusan IbHinggaAkhir Akhir Hayat
Iyyaka na'budu didasarkan kepada empat kaidah, yaitu mewujudkan
apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, berupa perkataan hati dan lisan,
amal hati dan anggota badan. Ubudiyah merupakan nama yang meliputi
empat tingkatan ini.
Perkataan hati merupakan keyakinan terhadap apa yang dikabarkan
Allah, tentang Diri-Nya, sifat, asma' dan perbuatan-Nya, para malaikat,
perjumpaan dengan-Nya, yang disampaikan para rasul-Nya. Perkataan
lisan adalah pengabaran tentang keyakinan ini. Amal hati ialah seperti
cinta kepada Allah, tawakal, tunduk, takut dan berharap kepada-Nya serta
hal-hal lain yang merupakan gerak hati. Sedangkan amal anggota tubuh
seperti shalat, jihad, melangkah ke masjid untuk shalat Jum'at dan
jama'ah, membantu orang miskin, berbuat baik kepada sesama manusia
dan lain sebagainya.
Sementara itu, keharusan melaksanakan iyyaka na'budu berlaku
hingga akhir hayat. Allah befirman,
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
"Dan, sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini
(ajal)." (Al-Hijr. 99).
Di dalam Ash-Shahih juga disebutkan tentang kisah kematian Uts-man
bin Mazh'un, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Telah datang
kepada Utsman ajal dari Rabb-nya."
Hamba tidak terbebas dari ibadah selagi dia berada di dunia. Bah-
kan di alam Barzakh pun dia tetap memiliki bentuk ibadah tersendiri tat-
kala dua malaikat bertanya kepadanya, "Siapakah yang disembah dan
apakah yang dia katakan tentang Rasulullah?" Maka kedua malaikat
menunggu jawaban yang akan keluar dari hamba itu. Bahkan pada hari
kiamat pun masih ada ibadah yang dilakukan, yaitu saat Allah menyeru
semua makhluk untuk sujud. Maka orang-orang Mukmin sujud, sedangkan
orang-orang kafir dan munafik tidak bisa sujud. Jika sudah masuk surga
atau neraka, maka tidak ada lagi kewajiban, selain dari tasbih yang
dilakukan para penghuni surga.
Siapa yang berpendapat bahwa dia sudah mencapai suaru tingkatan
yang membuatnya terbebas dari ibadah adalah orang zindiq yang kafir
kepada Allah dan Rasul-Nya. ¹
Padahal orang yang mencapai sekian ba-nyak
¹ Mereka adalah orang-orang sufi, yang menganggap sesembahannya adalah hakikat
alam yang pertama dan inti yang menjadi sumber kejadian segala sesuatu. Para rasul
menurut pendapat mereka adalah orang-orang yang tidak mengetahui hakikat ini. Karena
itu para rasul tetap bcribadah kepada Allah dan mengajak manusia untuk beribadah,
mengikuti syariat dan hukum-hukum-Nya. Sedangkan orang sufi yang sudah mencapai
tingkatan ma'rifat adalah yang mengetahui hakikat ini dan juga mengetahui bahwa hamba
adalah sesembahan, karena di dalam dirinya ada inti kejadian. Mereka menafsiri "Yang
diyakini" (dalam surat Al-Hijr: 99) seperti anggapan mereka ini. Dengan pengertian,
sembahlah Allah hingga engkau mencapai hakikat ini. Jika engkau sudah mencapai
tingkatan ma'rifat, maka tiada lagi kewajiban atas dirimu, tidak ada batasan wajib dan
haram. Di antara propagandis pendapat ini adalah Ibnu Araby.
tingkatan ibadah, justru ibadahnya semakin besar dan kewajibannya lebih
banyak daripada yang lain, seperti kewajiban para rasul yang lebih banyak
dan lebih berat.
Tingkatan-tingkatan Iyyaka Na'budu dan Penopang Ubudiyah
Ditilik dari ilmu dan amal, ubudiyah itu mempunyai beberapa ting-
katan. Ubudiyah dari sisi ilmu ada dua tingkatan: Ilmu tentang Allah dan
ilmu tentang agama-Nya. Ilmu tentang Allah ada lima macam: Ilmu tentang
Dzat, sifat, perbuatan, asma' Allah dan membebaskan-Nya dari hal-hal yang
tidak sesuai dengan-Nya. Ilmu tentang agama-Nya ada dua macam: Ilmu
yang berkaitan dengan perintah dan syariat, yang sekaligus merupakan jalan
lurus yang menghantarkan kepada Allah, dan ilmu yang berkaitan dengan
pahala serta siksa.
Ubudiyah berkisar pada beberapa penopang. Siapa yang dapat me-
nyempurnakan penopang-penopang ini, maka dia dapat menyempurna-kan
tingkatan-tingkatan ubudiyah di atas. Jelasnya, ubudiyah itu terbagi atas
hati, lisan dan anggota tubuh. Masing-masing dari tiga bagian ini
mempunyai ubudiyah yang bersifat khusus. Sementara hukum-hukum
ubudiyah ada lima macam: Wajib, sunat, haram, makruh dan mubah. Lima
hukum ini berlaku untuk hati, lisan dan anggota tubuh.
Yang wajib bagi hati ada yang sudah disepakati kewajibannya dan ada
yang diperselisihkan. Yang disepakati kewajibannya adalah: Ikhlas,
tawakal, cinta, sabar, pasrah, takut, berharap, pembenaran, niat dalam
ibadah. Yang diharamkan bagi hati adalah: Takabur, riya', ujub, dengki,
lalai dan kemunafikan. Semua ini dapat dihimpun dalam dua perkara:
Kufur dan kedurhakaan. Kufur seperti keragu-raguan, kemunafikan, syirik dan
segala cabangnya. Kedurhakaan ada dua macam, besar dan kecil.
Kedurhakaan yang besar seperti riya', takabur, ujub, membanggakan diri,
putus asa dari rahmat Allah, merasa aman dari tipu daya Allah, merasa
senang melihat penderitaan orang Muslim, suka jika ada kekejian yang
menyebar di tengah orang-orang Muslim, iri terhadap karunia yang
mereka terima, berharap agar karunia itu sirna dari mereka dan hal-hal lain
yang sejenis. Semua ini jauh lebih diharamkan daripada pengharam-an zina
dan minum khamr serta dosa-dosa besar yang zhahir. Semua keburukan ini
muncul karena ketidaktahuan tentang ubudiyah hati dan tidak
memperhatikannya. Tugas iyyaka na'budu dibebankan kepada hati terlebih dahulu sebelum dibebankan kepada anggota tubuh. Jika tugas ini
diabaikan, maka yang muncul adalah kebalikannya.
Dosa-dosa kecil dalam hati seperti menginginkan hal yang haram dan
membayangkannya. Perbedaan tingkat keinginan, tergantung pada
perbedaan tingkat sesuatu yang diinginkan. Keinginan terhadap kufur dan syirik adalah kufur. Keinginan terhadap bid'ah adalah kefasikan.
Keinginan terhadap dosa besar adalah kedurhakaan. Jika seseorang me-
ninggalkan keinginan ini karena Allah menurut kesanggupannya, maka dia
mendapat pahala.
Sedangkan ubudiyah lisan ada lima macam: Yang wajib adalah
mengucapkan syahadatain, membaca apa yang harus dibaca dari isi Al-
Qur'an, seperti yang menjaga keabsahan shalat, mengucapkan dzikir-
dzikir yang wajib dalam shalat seperti yang diperintahkan Allah dan Ra-
sul-Nya, membalas ucapan salam, menyuruh kepada yang ma'ruf dan
mencegah dari yang mungkar, mengajari orang yang bodoh, menunjuki
orang yang sesat, memberikan kesaksian yang dibutuhkan, berkata jujur
dan lain-lainnya. Sedangkan yang sunat bagi lisan adalah membaca Al-
Qur'an, terus-menerus menyebut asma Allah, menggali ilmu yang ber-
manfaat dan lain-lainnya. Sedangkan yang haram bagi lisan ialah meng-
ucapkan perkataan apa pun yang dibenci Allah dan Rasul-Nya, menyam-
paikan bid'ah yang bertentangan dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya,
menyeru kepada bid'ah, menuduh dan mencaci orang Muslim, dusta,
memberikan kesaksian palsu dan mengatakan tentang Allah tanpa dida-
sari pengetahuan. Sedangkan yang makruh bagi lisan ialah mengatakan
sesuatu, padahal andaikata hal itu tidak dikatakan, maka akan lebih baik.
Hal ini tidak mengakibatkan siksaan.
Ubudiyah yang harus dilakukan anggota tubuh ada dua puluh lima,
karena indera ada lima dan masing-masing indera mempunyai lima ke-
wajiban, yang meliputi wajib, sunat, haram, makruh dan mubah.
Persinggahan Iyyaka Na'budu di dalam Hati Saat Mengadakan
Perjalanan kepada Allah
Banyak orang yang mensifati persinggahan ini dan menyebutkan
bilangannya. Di antara mereka ada yang menyebutnya seribu, ada pula
yang menyebutnya seratus, ada yang kurang dan ada yang lebih. Masing-
masing orang mensifatinya menurut perjalanan yang dilakukannya.
Berikut ini akan saya sebutkan secara ringkas namun tuntas masing-masing di
antara persinggahan ini.
Yang pertama adalah al-yaqzhah, artinya kegalauan hati setelah
terjaga dari tidur yang lelap. Hal ini sangat penting dan membantu pem-
benahan perilaku. Siapa yang merasakannya, berarti dia telah merasakan
satu keberuntungan. Jika tidak, berarti dia tetap dicengkeram kelalaian.
Jika sudah tersadar, dia diberi bekal hasrat untuk memulai perjalanannya
dan menuju persinggahannya yang pertama dan ke tempat dimana dia
ditawan.
Jika perjalanan sudah dimulai, maka hati beralih ke persinggahan al-
azm, yaitu tekad yang bulat untuk melakukan perjalanan, siap meng-
hadapi segala rintangan dan mencari penuntun yang dapat menghantar-
kan ke tujuan. Seberapa jauh seseorang memiliki kesadaran, maka se-jauh
itu pula tekadnya, dan seberapa jauh tekad yang dimilikinya, maka sejauh
itu pula persiapan yang dilakukannya.
Jika sudah terjaga, maka dia memiliki al-fikrah, yaitu pandangan hati
yang hanya tertuju ke sesuatu yang hendak dicari, sekalipun dia belum
memiliki gambaran jalan yang menghantarkannya ke sana. Jika fikrah-nya
sudah benar, tentu dia memiliki al-bashirah, yaitu cahaya di dalam hati
untuk melihat janji dan ancaman, surga dan neraka, apa yang telah
dijanjikan Allah terhadap para wali dan musuh-Nya. Dengan semua ini
seakan-akan dia bisa melihat apa yang terjadi pada hari akhirat, semua
orang dibangkitkan dari kuburnya, para malaikat didatangkan, para nabi,
syuhada dan shalihin dihadirkan, jembatan dibentangkan, musuh-musuh
dikumpulkan, api neraka dikobarkan. Di dalam hatinya seakan ada mata
yang dapat melihat berbagai kejadian akhirat, dan dia juga melihat bagai-
mana keduniaan ini yang begitu cepat berlalu.
Al-Bashirah merupakan cahaya yang disusupkan Allah ke dalam hati,
sehingga seseorang bisa melihat hakikat pengabaran para rasul, seakan-
akan dia bisa melihatnya dengan mata kepala sendiri. Dengan begitu dia
bisa mengambil manfaat dari seruan para rasul dan melihat adanya bahaya
yang mengancamnya jika dia bertentangan dengan mereka.
Al-Bashirah itu didasarkan pada tiga derajat, siapa yang dapat me-
nyempurnakan tiga derajat ini, berarti dia dapat menyempurnakan bashi-
rah-nya, yaitu: Pertama, bashirah tentang asma' dan sifat. Kedua, bashirah
tentang perintah dan larangan. Ketiga, bashirah tentang janji dan
ancaman.
Bashirah tentang asma' dan sifat-sifat Allah, artinya imanmu tidak
dipengaruhi syubhat yang bertentangan dengan sifat-sifat yang diberikan
Allah kepada Diri-Nya sendiri dan juga yang disifati Rasul-Nya. Sebab
syubhat dalam hal ini sama dengan keragu-raguan tentang wujud Allah.
Tingkatan bashirah yang dimiliki masing-masing manusia berbe-da-
beda, tergantung dari tingkat pengetahuan mereka tentang pengabaran
Nabawy dan pemahamannya serta ilmu tentang syubhat yang bertentangan
dengan hakikat-hakikatnya. Orang yang paling lemah bashirah-nya adalah
para teolog batil yang biasanya suka mencela orang-orang salaf, karena
mereka tidak mengetahui nash dan tidak memahaminya. Syubhat
mengendap di dalam hati mereka. Orang-orang awam yang bukan termasuk
orang-orang Mukmin yang sesungguhnya, justru lebih sempurna daripada para teolog itu, lebih kuat imannya, lebih mempercayai wahyu dan lebih
tunduk kepada kebenaran.
Bashirah tentang perintah dan larangan artinya membebaskan hati
dari penentangan karena melakukan ta'wil, taqlid atau mengikuti hawa
nafsu, sehingga di dalam hatinya tidak ada syubhat yang bertentangan
dengan ilmu tentang perintah dan larangan Allah, tidak pula dikuasai
nafsu yang menghalanginya untuk melaksanakan perintah dan larangan
itu, tidak pula mengikuti taqlid yang membuatnya merasa tidak perlu
berusaha menggali hukum dari nash.
Bashirah tentang janji dan ancaman artinya engkau mempersaksi-kan
penanganan Allah terhadap apa pun yang dilakukan setiap manusia, yang
baik maupun yang buruk, di dunia maupun di akhirat. Ini merupakan
konsekuensi Ilahiyah dan Rububiyah-Nya, keadilan dan hikmah-Nya.
Keraguan tentang hal ini sama dengan keraguan tentang Uluhiyah dan
rububiyah-Nya, bahkan keraguan tentang wujud-Nya.
Orang yang berada di persinggahan bashirah mempunyai alternatif
jalan lain, yaitu bashirah yang membebaskannya dari kebingungan.
Jika seseorang sudah sadar dan memiliki bashirah, maka dia akan
mengambil maksud dan kehendak yang tulus, menghimpun maksud dan
niat untuk melakukan perjalanan kepada Allah. Setelah tahu dan yakin
tentang hal ini, maka dia mulai melakukan perjalanan, membawa bekal
menuju hari datangnya pembalasan, membebaskan diri dari rintangan
yang menghambat perjalanannya. Maksud bisa dibagi menjadi tiga ting-
katan:
Pertama, maksud yang membangkitkan keteguhan dan membebaskan diri dari keragu-raguan.
Kedua, maksud yang karenanya semua rintangan akan disingkirkan
dan semua penghalang akan dihadapi.
Ketiga, maksud yang mendorongnya mencari pengetahuan dan mau
men-dengarkan nasihat dari orang yang lebih bijaksana.
Jika maksud sudah kuat, maka ia berubah menjadi tekad yang bu-lat,
lalu mengharuskannya memulai perjalanan sambil disertai tawakal kepada
Allah. Firman-Nya,
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
"Kemudian apabila kamu sudah membulatkan tekad, maka
bertawakallah kepada Allah." (Ali Imran: 159).
Al-Azm artinya maksud yang bulat dan yang mendorong muncul-
nya aksi. Karena itu ada yang menganggap tekad yang bulat ini merupa-kan
permulaan aksi untuk mencari maksud dan tujuan. Pada hakikatnya tekad
ini merupakan kekuatan kehendak yang sudah berhimpun untuk
mengadakan aksi.
Tekad ini ada dua macam:
Pertama, tekad orang yang hendak mengayunkan langkah melakukan
perjalanan atau bisa juga disebut permulaan perjalanan.
Kedua, tekad saat berada di dalam perjalanan. Hal ini sifatnya lebih
khusus lagi.
Pada etape ini seseorang perlu membedakan antara apa yang menjadi
haknya dan kewajibannya, agar dia tahu apa yang memang menjadi
bagiannya dan apa yang menjadi kewajibannya, yaitu muhasabah sebelum
taubat. Tetapi pengarang Manazilus-Sa'irin menempatkan taubat sebelum
muhasabah.
Yang perlu diketahui bahwa persinggahan ini jangan disamakan
dengan persinggahan menurut kenyataan, dimana seseorang berada di satu
tempat itu lalu meninggalkannya begitu saja untuk berpindah ke tempat
berikutnya. Tentunya engkau juga tahu bahwa al-yaqzhah (kesa-daran)
harus selalu menyertai dan tidak bisa ditinggalkan, di mana pun
tempatnya, begitu pula al-bashirah, al-iradah, al-azm maupun at-taubah.
Seperti wajarnya taubat yang ada di akhir, maka ia juga harus ada di per-
mulaannya dan bahkan ia harus ada di mana-mana. Memang Allah men-
jadikan taubat ini sebagai bagian akhir dari keadaan hamba-hamba-Nya
yang khusus, seperti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para
shahabat beliau dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Allah befirman
berkaitan dengan perang Tabuk, peperangan terakhir yang mereka laku-
kan, dan sekaligus merupakan perjalanan yang paling berat bagi mereka,
لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ
"SesungguhnyaAllah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati
segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima
taubat mereka itu." (At-Taubah: 117)..
Muhasabah dan Pilar-pilarnya
Siapa pun yang mengadakan perjalanan kepada Allah tidak lepas
dari empat persinggahan, yaitu al-yaqzhah, al-bashirah, al-fikrah dan al-
azm. Empat persinggahan ini tak ubahnya pilar bagi suatu bangunan.
Perjalanan tidak akan sampai kepada-Nya kecuali dengan melewati empat
persinggahan ini, tak ubahnya perjalanan secara nyata yang harus melewati
beberapa etape. Orang yang hanya menetap di kampung halaman-nya, tidak
berpikir untuk mengadakan perjalanan kecuali dia sadar dari kelalaiannya
untuk mengadakan perjalanan. Jika sudah memiliki kesadaran, maka dia
harus mengetahui segala urusan tentang perjalanannya, bahaya, manfaat
dan kemaslahatannya. Kemudian dia berpikir untuk mengadakan
persiapan dan mencari bekal. Kemudian dia harus memiliki tekad yang
bulat. Jika tekad dan maksudnya sudah bulat, maka dia mulai beralih ke
persinggahan muhasabah, atau memilah antara bagiannya dan
kewajibannya. Dia boleh mengambil apa yang menjadi bagiannya dan
harus melaksanakan kewajibannya. Sebab dia akan mengadakan
perjalanan dan tidak akan kembali lagi.
Dari muhasabah dia beralih ke taubah. Sebab jika dia sudah meng-
hisab dirinya, tentu dia akan mengetahui hak yang harus dia penuhi, lalu
keluar untuk memberikan hak itu kepada yang berhak menerimanya.
Inilah hakikat taubat. Tetapi dengan mendahulukan muhasabah akan
menjadi lebih baik. Kalaupun mendahulukannya juga tidak apa-apa, ka-
rena muhasabah tak bisa dilakukan kecuali setelah ada taubat yang sebe-
narnya.
Yang pasti, taubat itu ada di antara dua muhasabah, yaitu muhasabah
sebelum taubat yang hukumnya wajib dan muhasabah sesudah taubat yang
hukumnya harus tetap dijaga. Taubat akan tetap terjaga jika berada di antara
dua muhasabah ini, sebagaimana yang ditunjukkan firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat)." (Al-Hasyr: 18).
Maksud "Memperhatikan" dalam ayat ini ialah memperhatikan ke-
lengkapan persiapan untuk menyongsong hari akhirat, mendahulukan apa
yang bisa menyelamatkannya dari siksa Allah, agar wajahnya menjadi bersih
di sisi Allah. Umar bin Al-Khaththab pernah berkata, "Hisablah diri kalian
sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang
dan berhiaslah kalian untuk menghadapi hari penampakan yang agung."
Menurut Abu Isma'il, pengarang Manalizus-Sa'irin, ada tiga pilar
yang menopang muhasabah, yaitu:
1. Membandingkan antara Nikmat Allah dan Kejahatanmu
Maksudnya, engkau harus membandingkan apa yang berasal dari
Allah dan apa yang berasal dari dirimu. Dengan begitu engkau akan
mengetahui letak ketimpangannya, dan engkau juga akan mengetahui
bahwa di sana hanya ada ampunan dan rahmat Allah di satu sisi, dan di
sisi lain adalah kehancuran dan kerusakan.
Dengan membandingkan seperti ini engkau bisa mengetahui bahwa
Allah adalah Allah dalam pengertian yang sebenarnya, dan hamba adalah
hamba dalam pengertian yang sebenarnya. Engkau juga akan mengetahui
hakikat jiwa dan sifat-sifatnya, keagungan Rububiyah Allah, hanya
Allahlah yang memiliki kesempumaan, setiap nikmat berasal dari-Nya
sebagai karunia, dan siksaan juga berasal dari-Nya yang ditimpakan
secara adil. Jika engkau tidak membuat perbandingan seperti ini, tentu
engkau tidak akan bisa mengetahui hakikat dirimu sendiri dan Rububiyah
Pencipta jiwamu. Jika engkau membuat perbandingan seperti ini, maka
engkau akan tahu bahwa jiwamu adalah sumber segala kejahatan dan
kekurangan. Sedangkan hukum yang dimilikinya adalah kebodohan dan
kezhaliman. Andaikan tidak karena karunia Allah dan rahmat-Nya yang
mensucikan jiwa itu, tentu ia tidak akan menjadi suci sama sekali.
Kemudian engkau juga bisa membandingkan antara kebaikan dan
keburukan. Sehingga dengan membandingkan ini engkau bisa mengetahui mana yang lebih banyak dan mana yang lebih dominan di antara
keduanya. Perbandingan yang kedua ini merupakan perbandingan antara
perbuatanmu dan apa yang datang dari dirimu secara khusus.
Seseorang tidak bisa membuat perbandingan ini jika dia tidak
memiliki tiga indikator:
1. Cahaya hikmah
2. Buruk sangka terhadap did sendiri
3. Membedakan antara nikmat dan ujian.
Cahaya hikmah merupakan cahaya yang disusupkan Allah ke dalam
hati orang-orang yang mengikuti para rasul. Dengan kata lain, cahaya
hikmah adalah ilmu yang dimiliki seseorang sehingga dia bisa membe-
dakan antara yang haq dan batil, petunjuk dan kesesatan, mudharat dan
manfaat, yang sempurna dan yang kurang, yang baik dan yang buruk.
Dengan cahaya hikmah ini seseorang bisa melihat tingkatanrtingkatan
amal, mana yang harus dipentingkan dan mana yang tidak dipenting-kan,
mana yang harus diterima dan mana yang ditolak. Jika cahaya ini kuat,
maka muhasabah juga akan kuat dan sempurna. Buruk sangka terhadap
diri sendiri amat diperlukan, sebab baik sangka terhadap diri sendiri akan
menghalangi koreksi dan kerancuan, sehingga dia melihat keburukan sebagai kebaikan, aib sebagai kesempumaan. Membedakan nikmat dari
ujian, artinya membedakan nikmat yang dilihatnya sebagai kebaikan dan
kasih sayang Allah serta yang bisa membawanya kepada kenik-matan
yang abadi, dan membedakannya dengan nikmatyang hanya seke-dar
sebagai tipuan. Sebab berapa banyak orang yang tertipu dengan nik-mat,
sementara dia tidak menyadarinya, tertipu oleh pujian orang-orang bodoh,
terpedaya oleh limpahan Allah, dan justru kebanyakan manusia termasuk
dalam kelompok yang kedua ini.
Tiga indikator ini merupakan tanda kebahagiaan dan keselamatan.
Jika tiga hal ini dilaksanakan secara sempurna, maka seseorang bisa
mengetahui nikmat Allah yang sebenarnya. Selain itu ada ujian yang
berupa nikmat atau cobaan berupa limpahan pemberian. Maka hendaklah
setiap orang mewaspadai hal ini, sebab dia berada di antara anugerah dan
hujjah, dan banyak orang yang timpang dalam membedakan dua hal ini.
2. Membedakan antara Bagian dan Kewajiban
Harus ada pemilahan antara hak-hak yang harus engkau penuhi,
seperti kewajiban-kewajiban ibadah, ketaatan dan menjauhi kedurhakaan, dan
hak yang menjadi bagianmu. Apa yang menjadi bagianmu adalah mubah
menurut ketetapan syariat, dan apa yang menjadi kewajibanmu harus
engkau penuhi dan engkau harus memberikan hak kepada siapa pun yang
berhak menerimanya.
Banyak orang yang mencampur aduk antara kewajiban dan hak-nya,
sehingga dia sendiri menjadi kebingungan antara mengerjakan dan
meninggalkan. Banyak orang yang sebenarnya dia boleh mengerjakan
sesuatu namun dia justru meninggalkannya, seperti orang yang raj in
beribadah dengan meninggalkan apa yang sebenarnya boleh dia kerja-kan,
seperti meninggalkan hal-hal yang mubah, karena dia mengira bah-wa hal
itu tidak boleh dia kerjakan. Begitu pula sebaliknya, orang yang rajin
beribadah dengan mengerjakan sesuatu yang sebenarnya harus dia
tinggalkan, karena dia mengira hal itu merupakan haknya.
Yang pertama seperti orang yang rajin beribadah dengan tidak mau
menikah, tidak mau memakan daging, buah-buah, makanan yang lezat dan
pakaian yang bagus. Karena kebodohannya dia mengira bahwa semua itu
merupakan larangan baginya, sehingga dia harus meninggalkannya, atau dia
berpendapat bahwa dengan meninggalkannya akan membuat ibadahnya
bertambah afdhal. Dalam Ash-Shahih disebutkan pengingkaran Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam terhadap beberapa shahabat yang tidak mau
menikahi wanita, terus-menerus berpuasa dan shalat malam. Yang kedua
seperti orang yang rajin beribadah, namun bid'ah. Dia melihat cara
ibadahnya itu benar, karena begitulah yang banyak dilakukan orang.
3. Tidak Ridha terhadap Ketaatan Yang Dilakukan
Engkau harus tahu bahwa setiap ketaatan yang engkau ridhai, akan
menjadi beban dosa bagimu, dan setiap kedurhakaan yang dituduhkan
saudaramu kepadamu, maka terimalah tuduhan itu dan anggaplah bahwa
memang itulah yang benar. Sebab keridhaan seorang hamba terhadap
ketaatan dirinya merupakan bukti baik sangka terhadap diri sendiri dan
kebodohannya terhadap hak-hak ubudiyah serta tidak tahu apa yang
dituntut Allah darinya, lalu akhirnya melahirkan takabur dan ujub, yang
dosanya lebih besar dari dosa-dosa besar yang nyata, seperti zina, minum
khamr, lari dari medan peperangan dan lain-lainnya.
Orang-orang yang memiliki bashirah justru lebih meningkatkan
istighfar setelah mengerjakan berbagai macam ketaatan, karena mereka
menyadari keterbatasannya dalam melaksanakan ketaatan itu dan merasa
belum memenuhi hak-hak Allah sesuai dengan keagungan-Nya. Allah juga
memerintahkan agar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam senantiasa
memohon ampunan dalam setiap kesempatan dan sehabis melaksanakan
tugas-tugas risalah atau setelah melaksanakan suatu ibadah. Dalam surat
terakhir yang diturunkan, Allah juga tetap memerintahkan beliau untuk
memohon ampunan,
اِذَا جَاۤءَ نَصْرُ اللّٰهِ وَالْفَتْحُۙ
وَرَاَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اَفْوَاجًاۙ
َسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُۗ اِنَّهٗ كَانَ تَوَّابًا
"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu
lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka
bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-
Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat." (An-Nashr: 1-3).
Maka Umar bin Al-Khaththab dan Ibnu Abbas memahami turunnya
surat ini sebagai isyarat telah dekatnya ajal beliau. Seakan-akan Allah
hendak memberitahukan hal ini kepada beliau, dengan memerintahkan
agar beliau memohon ampunan sehabis mengerjakan setiap tugas. Dengan
kata lain, surat ini semacam pemberitahuan: Engkau telah rampung
mengerjakan kewajibanmu dan tidak ada lagi kewajiban yang menyisa
setelah itu. Maka jadikanlah istighfar sebagai kesudahannya.
Taubat Sebagai Persinggahan Pertama dan Terakhir
Jika seorang hamba sudah berada di persinggahan muhasabah ini
secara benar, maka ada persinggahan lain, yaitu taubat. Dengan muhasabah
dia bisa membedakan mana yang menjadi haknya dan mana yang menjadi
kewajibannya. Maka selanjutnya dia harus tetap membulatkan tekad dan
ambisi dalam melanjutkan perjalanan menuju Allah sampai akhir hayatnya.
Taubat merupakan awal persinggahan, pertengahan dan akhirnya.
Seorang hamba yang sedang mengadakan perjalanan kepada Allah tidak
pernah lepas dari taubat, sampai ajal menjemputnya. Sekalipun dia ber-alih
ke persinggahan yang lain dan melanjutkan perjalanannya, taubat selalu
menyertainya. Taubat merupakan permulaan langkah hamba dan
kesudahannya. Kebutuhannya terhadap taubat amat penting dan mende-
sak, tak berbeda dengan permulaannya. Allah befirman,
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Dan, bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman, supaya kalian beruntung." (An-Nur: 31).
Ayat ini turun di Madinah. Di sini Allah mengarahkan firman-Nya
kepada orang-orang yang beriman dan orang-orang pilihan-Nya, agar mereka
bertaubat, setelah mereka beriman, bersabar, berjihad dan berhijrah. Bahkan
Allah mengaitkan keberuntungan dengan satu sebab, dan juga
menggunakan kata "supaya", yang mengindikasikan pengharapan. Dengan
kata lain, jika kalian bertaubat, maka diharapkan kalian akan beruntung.
Sementara tidak ada yang mengharap keberuntungan kecuali orang-orang
yang bertaubat. Semoga Allah menjadikan kita semua termasuk golongan
mereka. Di samping itu, Allah juga befirman tentang kebalikan dari
golongan ini,
وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
"Dan, barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-
orang yang zhalim." (Al-Hujurat: 11).
Hamba dibagi menjadi orang yang bertaubat dan yang tidak ber-
taubat atau zhalim. Tidak ada orang ketiga setelah itu. Cap zhalim diberi-kan
kepada orang yang tidak bertaubat dan tidak ada orang yang lebih zhalim
dari dirinya, karena dia tidak tahu Allah dan hak-Nya, tidak tahu aib
dirinya dan kekurangan amalnya.
Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam, beliau bersabda,
أيها الناس توبوا إلى الله. من أجل
يا الله ، لقد ندمت حقًا إلى الله أكثر من سبعين مرة
في يوم."
"Wahai sekalian manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah. Demi
Allah, aku benar-benar bertaubat kepada Allah lebih dari tujuh puluh kali
dalam sehari."
Dalam suatu majlis sebelum beliau beranjak pergi, para shahabat
pernah menghitung, beliau mengucapkan sebanyak seratus kali ucapan
berikut,
يا ربي اغفر لي ذنوبي وتوبتي ، لأنك أنت أكثر التوبة قبولاً وغفوراً.
"Wahai Rabbi, ampunilah dosaku dan terimalah taubatku, karena Engkaulah Maha Penerima taubat lagi Maha Pengampun."
Karena taubat itu merupakan langkah kembalinya hamba kepada
Allah dan meninggalkan jalan orang-orang yang mendapat murka lagi
sesat, maka dia tidak bisa memperolehnya kecuali dengan hidayah Allah
agar dia mengikuti ash-shirathul-mustaqim. Sementara hidayah-Nya tidak
bisa diperoleh kecuali dengan memohon pertolongan kepada-Nya dan
mengesakan-Nya. Urutan-urutan semacam ini sudah terangkum secara
baik dan lengkap di dalam Al-Fatihah. Siapa yang memberikan hak kepada
Al-Fatihah sesuai dengan kapasitas ilmu, kesaksian, kondisi dan ma'-
rifahnya, tentu dia akan mengetahui, bahwa pembacaan surat Al-Fatihah
ini belum dianggap sah dalam ibadah kecuali disertai taubat yang sebe-
nar-benarnya (taubatan nashuha). Sebab hidayah yang sempurna untuk
mengikuti ash-shirathul-mustaqim tidak akan diperoleh jika tidak tahu
terhadap dosa yang telah dilakukan, terlebih lagi jika dosa itu terus-mene-
rus dilakukan. Karena itu taubat dianggap tidak sah kecuali setelah menge-
tahui dosa dan mengakuinya, lalu berusaha mencari jalan keselamatan
dari akibat yang akan diterima di kemudian hari.
Ada tiga syarat yang harus dipenuhi dalam taubat, yaitu penyesalan,
meninggalkan dosa yang dilakukan, dan memperlihatkan kelemahan serta
ketidakberdayaan.
Hakikat taubat adalah menyesali dosa-dosa yang telah dilakukan di
masa lampau, membebaskan diri seketika itu pula dari dosa tersebut dan
bertekad untuk tidak mengulanginya lagi di masa mendatang. Tiga syarat
ini harus berkumpul menjadi satu pada saat bertaubat. Pada saat itulah dia
akan kembali kepada ubudiyah, dan inilah yang disebut hakikat taubat.
Menurut Abu Ismail, rahasia hakikat taubat ada tiga macam:
1. Memisahkan ketakutan dari kemuliaan.
2. Melupakan dosa dan kesalahan.
3. Taubat dari taubat.
Memisahkan ketakutan dari kemuliaan, bahwa taubat itu harus
dimaksudkan sebagaiwujud ketakutan kepada Allah, melaksanakanperin-tah
dan menjauhi larangan-Nya, lalu dia melaksanakan ketaatan kepada Allah
berdasarkan cahaya dari Allah dan mengharapkan pahala-Nya. Dia juga harus meninggalkan kedurhakaan kepada Allah berdasarkan cahaya dari-
Nya, takut terhadap siksa-Nya dan tidak dimaksudkan untuk menda-patkan
kemuliaan. Karena bagaimana pun juga ketaatan itu mempunyai
kemuliaan dalam lahir maupun batin. Siapa yang bertaubat dengan mak-
sud untuk mencari kemuliaan, maka taubatnya itu menjadi sia-sia.
Melupakan dosa dan kesalahan harus dirinci lebih lanjut lagi. Bah-
kan ada perbedaan pendapat dalam masalah ini di kalangan orang-orang
yang meniti jalan kepada Allah. Di antara mereka ada yang berpendapat,
sibuk mengingat dosa adalah perbuatan yang sia-sia. Mempergunakan
waktu bersama Allah jauh lebih bermanfaat bagi orang yang bertaubat.
Maka ada pepatah, "Mengingat masa kemarau di musim penghujan adalah
kemarau." Ada pula yang berpendapat, memang yang lebih tepat ialah tidak
melupakan dosa itu dan dosa itu seakan-akan harus selalu hadir di depan
matanya, sehingga membuat hatinya senantiasa sedih.
Yang benar dalam masalah ini, jika seorang hamba merasakan ada-
nya ujub pada dirinya, melupakan karunia dan tidak merasa membutuhkan
Allah atau tidak melihat kekurangan dirinya, maka mengingat dosa lebih
bermanfaat baginya. Namun pada saat dia melihat karunia Allah yang
dilimpahkan kepadanya, hatinya dipenuhi rasa cinta kepada Allah,
kerinduan untuk bersua dengan-Nya, merasakan kebersamaan dengan-
Nya, melihat keluasan rahmat dan ampunan-Nya, maka melupakan dosa
dan kesalahan lebih bermanfaat baginya. Sebab jika seorang hamba te-rus-
menerus mengingat dosa dan kesalahannya, sementara dia dalam keadaan
yang kedua ini, maka dia akan turun dari tingkatan yang tinggi ke
tingkatan yang rendah, dan ini termasuk tipu daya syetan. Sebab dua
keadaan ini harus dibedakan.
Sedangkan taubat dari taubat, merupakan istilah yang masih ran-cu,
bisa berarti benar dan bisa berarti salah. Taubat termasuk kebaikan yang
paling agung. Taubat dari kebaikan merupakan keburukan yang paling
besar dan kesalahan yang paling buruk, bahkan bisa disebut ku-fur. Sebab
dengan begitu tidak ada bedanya antara taubat dari taubat dan taubat dari
Islam serta iman. Layakkah dikatakan taubat dari iman? Jika seorang
hamba senantiasa beserta Allah, senantiasa mengingat karunia, menyebut
asma' dan sifat-sifat-Nya serta senantiasa menghadap kepada-Nya, namun
dia juga masih mengingat-ingat dosanya yang telah lampau sebagai
perwujudan taubat, maka dia perlu bertaubat dari taubaBertaubat
Kendala-kendala Taubat Orang-orang Yang Bertaubat
Biasanya taubat orang-orang awam disertai dengan keberatan di
dalam hati karena menganggap jenis-jenis ketaatan dan kebaikan yang
harus dilakukan terlalu banyak. Jika dibandingkan dengan kedudukan
orang-orang yang khusus, hal ini akan menimbulkan tiga kerusakan:
1. Kebaikan-kebaikan yang mereka lakukan merupakan keburukan menurut
orang-orang yang khusus. Kebaikan orang awam bisa menjadi
keburukan bagi orang yang mendekatkan diri kepada Allah. Dia perlu
bertaubat dari kebaikan-kebaikan yang dilakukannya, karena dia
melalaikan aib dan kekurangannya, karena menganggap kebaikan-
kebaikan yang dilakukannya itu sudah banyak. Dia mengingkari
nikmat Allah, karena nikmat itu tidak tampak atau ditangguhkan.
Jika engkau menginginkan pemahaman lebih mudah tentang hal ini,
maka perhatikanlah keadaanmu saat membaca Al-Qur'an. Jika engkau
tidak memahami, menelaah dan memikirkannya, menyimak apa yang
dimaksudkan dalam setiap ayat, tidak peduli terhadap seruan yang
seakan ditujukan kepadamu, engkau hanya ingin menamatkan bacaan,
engkau tidak merasakan pengobatannya di dalam hatimu, atau engkau
membacanya secara serampangan, tentu engkau akan merasa bahwa
bacaanmu terlalu banyak. Namun jika engkau menelaah, menyimak
maksud ayat-ayat yang engkau baca, merasa bahwa ayat-ayat itu ditu-
jukan kepadamu, engkau merasakan pengobatannya di dalam hatimu,
maka engkau tidak merasa bahwa engkau telah membaca satu ayat atau
satu surat dan seterusnya. Begitu pula jika engkau memaksakan hatimu
untuk khusyu' saat mengerjakan dua rakaat shalat sunat, maka shalat
berikutnya akan engkau kerjakan dengan berat hati. Tapi jika hatimu
tidak terbebani dengan hal itu, maka berapa pun rakaat yang engkau
kerjakan tidak akan terasa berat. Bertaubat dengan menganggap
ketaatan terlalu banyak tanpa memperhatikan aib dan kekurangannya,
adalah taubatnya orang awam.
2. Orang yang bertaubat merasa mempunyai hak terhadap Allah, agar Dia
memberikan pahala atas kebaikan-kebaikan yang dia kerjakan, dengan
memasukkannya ke surga dan memberinya kenikmatan serta
keridhaan. Akibatnya, pikiran seperti ini jauh lebih banyak dari porsi
kebaikan yang dia lakukan. Sementara amalan orang yang lebih rajin
dari dia pun belum menjamin dirinya masuk surga dan terbebas dari
api neraka. Tak seorang pun yangbisa selamat dari neraka dengan
amal-nya, kecuali setelah dia mendapat ampunan dan rahmat Allah.
3. Merasa tidak membutuhkan ampunan Allah, padahal dalam kenyataan-
nya dia masih membutuhkan ampunan dari kesalahannya dan pahala
dari kebaikan dan ketaatannya. Jika dia menganggap ketaatan yang
dilakukannya sudah banyak, lalu membuatnya merasa tidak membu-
tuhkan ampunan Allah, maka itu benar-benar merupakan kelancangan
terhadap Allah.
Tidak dapat diragukan bahwa hanya sekedar berbuat dengan amal-
amal anggota tubuh tanpa disertai kehadiran hati dan menghadap diri
kepada Allah, maka bisa menimbulkan tiga macam kerusakan ini dan juga lain-lainnya. Yang demikian ini tidak banyak memberikan manfaat di dunia maupun di akhirat, seperti amal yang tidak memperhatikan keten-
tuan perintah dan tidak disertai keikhlasan kepada Allah. Sekalipun amal
itu banyak, tapi tidak banyak bermanfaat dan hanya melelahkan. Sesung-
guhnya Allah tidak menetapkan pahala bagi hamba dari shalatnya kecuali
yang dia hayati secara sungguh-sungguh. Begitu pula setiap ibadah yang
mengharuskan adanya kekhusyu'an.
Sedangkan kendala taubatnya orang-orang kelas menengah ialah
menganggap sedikit kedurhakaannya. Tentu saja ini merupakan sikap
yang lancang dan merasa dirinya dalam keadaan terjaga dari kesalahan.
Dengan kata lain, menganggap kedurhakaannya hanya sedikit adalah
perbuatan dosa, sebagaimana menganggap ketaatannya banyak, juga do-
sa. Orang yang arif ialah yang memandang kebaikan-kebaikannya remeh
dan dosa-dosanya besar. Selagi kebaikan-kebaikannya dianggap kecil,
maka ia menjadi besar di sisi Allah. Selagi kebaikan-kebaikan itu terasa
banyak dan besar di dalam hatimu, maka ia menjadi sedikit dan kecil di
sisi Allah. Begitu pula sebaliknya yang berkaitan dengan keburukan. Sia-
pa yang mengetahui hak-hak Allah dan melaksanakan ibadah sesuai de-
ngan keagungan-Nya, maka kebaikan-kebaikannya tampak menjadi kecil,
dan dia merasa tidak bisa selamat dari siksaan-Nya.
Sedangkan kendala taubatnya orang-orang yang khusus adalah
membuang-buang waktu, lalu lama-kelamaan menjurus kepada
kekurangan, memadamkan cahaya pengawasan dan mengeruhkan
kebersamaan dengan Allah. Maksud membuang-buang waktu di sini
bukan berarti menghabiskan waktu dalam kedurhakaan dan canda atau
meninggalkan kewajiban. Sebab andaikan mereka berbuat seperti ini,
berarti mereka bukan termasuk orang-orang yang khusus, tapi orang-orang
awam. Waktu bagi mereka mempunyai pengertian yang spesifik. Bahkan
di antara mereka ada yang menyebut waktu di sini adalah kebenaran. Ada
pula yang mengartikannya kebenaran yang diselami hamba, atau
pengertian-pengertian lain yang serupa. Kendala taubat golongan ini ialah
dengan membuang waktu-waktu khusus dan yang sebaiknya digunakan
bersa-ma Allah dan tidak dikotori debu.
Ada pula kedudukan taubat yang lebih tinggi dan lebih khusus dari
gambaran-gambaran ini, yang tidak diketahui kecuali orang-orang khusus,
yang menganggap perbuatan, perkataan dan tindakannya masih terlalu
sedikit untuk memenuhi hak kekasihnya. Mereka tidak melihat apa yang ada
pada dirinya kecuali dari sisi kekurangannya saja, melihat keadaan
kekasihnya lebih agung, kekuasaannya lebih tinggi dari sekedar meridhai
amalnya. Mereka adalah orang-orang yang paling menghinakan amalnya
sendiri. Jika mereka merasa tidak mampu memenuhi hak kekasihnya,
maka mereka bertaubat seperti taubatnya orang yang melakukan dosa
besar. Jadi taubat tidak pernah mereka tinggalkan. Taubat mereka merupakan satu warna tertentu, sedangkan taubat selain mereka merupakan
warna lain yang berbeda, sehingga tampak jelas perbedaannya.
Taubat tidak dianggap sempurna kecuali dengan membebaskan hati
dari maksud-maksud selain Allah, kemudian mengetahui alasan dari
taubat itu, kemudian bertaubat setelah tahu alasan tersebut. Jika sudah
begitu keadaannya, maka dia akan beribadah kepada Allah semata sesuai
dengan perintah-Nya, tidak menyekutukan-Nya dan memohon pertolong-an
kepada-Nya, sehingga semua yang ada pada dirinya bagi Allah dan
bersama Allah. Yang demikian ini tidak akan terjadi kecuali orang yang
sudah dikuasai rasa cinta, hatinya dipenuhi cinta kepada Allah, diisi peng-
agungan, kepasrahan dan ketundukan kepada-Nya.
Pernik-pernik Hukum Yang Berkaitan dengan Taubat
Di sini perlu saya sebutkan beberapa masalah yang berkaitan dengan
taubat, yang perlu dijabarkan dan tidak boleh diabaikan oleh seseorang. Di
antaranya:
Pertama:
Bertaubat dari dosa wajib dilakukan secara langsung, seketika itu
pula dan tidak boleh ditunda-tunda. Siapa yang menundanya, berarti dia
telah durhaka karena penundaannya itu. Apabila dia bertaubat dari dosa itu,
maka dia harus bertaubat lagi, yaitu dari penundaan taubatnya. Yang seperti
ini jarang disadari orang yang bertaubat. Biasanya, jika dia sudah bertaubat
dari dosa tersebut, maka dia menganggap tidak perlu lagi bertaubat. Padahal
masih ada taubat yang menyisa karena penundaan taubatnya. Tidak ada yang
menyelamatkan hal ini kecuali taubat yang bersifat umum, yaitu taubat dari
dosa-dosa yang diketahui maupun yaniketahu iketahui. Sebab dosa dan kesalahan-kesalahan yang tidak diketahui
hamba justru lebih banyak dari yang diketahuinya. Karena dia tidak me-
ngetahuinya, bukan berarti dia terbebas dari hukuman, kalau memang
sebenarnya memungkinkan baginya untuk mengetahuinya. Dengan begitu
dia telah durhaka karena tidak ingin mengetahui dan tidak ber-amal,
sehingga kedurhakaannya semakin berlipat.
Di dalam Shahih Ibnu Hibban disebutkan bahwa Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda, "Syirik di dalam umatku ini lebih tersembu-
nyi daripada rangkakan semut."
Abu Bakar bertanya, "Wahai Rasulullah, lalu bagaimana cara untuk
menyelamatkan diri darinya?"
Beliau menjawab, "Hendaklah engkau mengucapkan,
ϢϠϋϻΎϤϟϙήϔϐΘγϭϢϠϋΎϧϭϚΑϙήηϥϚΑΫϮϋϲϧ·ϢϬϠϟ
"Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari berbuat syirik kepada-
Mu sedang aku tidak mengetahuinya, dan aku memohon ampunan
kepada-Mu dari dosa-dosa yang tidak kuketahui."
Dalam sebuah hadits dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, dise-
butkan bahwa beliau berdoa dalam shalatnya,
اللهم اغفر لي أخطائي وغبائي ،
أنا أكثر في شأني ومهما كنت أكثر
تعرفه مني. اللهم اغفر لي
صدق ومزاح ، إهمالي وعناد ، و
كل هذا بداخلي. اللهم اغفر لي ما هو
لقد وضعت في المقام الأول وما انتهيت ، والذي ظللت سرا
وما أظهرته وما كنت أكثر
تعرفه مني. أنت إلهي الذي ليس له إله آخر
أنت.
"Ya Allah, ampunilah bagiku kesalahan dan kebodohanku, berlebih-
le-bihanku dalam urusanku dan apa pun yang Engkau lebih
mengetahuinya daripada aku. Ya Allah, ampunilah bagiku
kesungguhan dan sendagurauku, kelalaian dan kesengajaanku, dan
semua itu adapada diriku. Ya Allah, ampunilah bagiku apa yang
telah kudahulukan dan apa yang kuakhirkan, yang kurahasiakan
dan yang kutampakkan, serta apa pun yang Engkau lebih
mengetahuinya daripada aku. Engkau Ilahku yang tiada Ilah selain
Engkau."
Kedua:
Apakah taubat dari suatu dosa dianggap sah, sementara dosa yang
lain masih tetap dilakukan?
Ada dua pendapat di kalangan ulama tentang masalah ini, yang
keduanya diriwayatkan dari Al-Imam Ahmad. Tapi tidak ditemukan
adanya perbedaan pendapat dari orang yang mengisahkan adanya ijma'
tentang sahnya taubat itu, seperti yang dilakukan An-Nawawy dan lain-
lainnya. Memang masalah ini bisa dianggap rumit, yang perlu ada kepas-
tian untuk salah satu di antara kedua pendapat ini, yang tentu saja harus
disertai dalil yang pasti. Golongan yang menganggap taubat itu sah, ber-
hujjah bahwa selagi seseorang sudah masuk Islam secara benar, yang
berarti dia sudah bertaubat dari kekufuran, maka Islamnya itu sudah sah
sekalipun dia masih melakukan kedurhakaan dan dia belum bertaubat dari
kedurhakaan itu. Maka taubat dari satu dosa sudah dianggap sah sekalipun
dia masih melakukan dosa lain.
Golongan satunya lagi menanggapi hujjah ini, bahwa Islam meru-
pakan satu keadaan yang tidak bisa disamakan dengan yang lain, karena
kekuatan, pengaruh dan cara mendapatkannya, yang biasanya anak le-bih cenderung mengikuti agama kedua orang tuanya, atau budak yang
mengikuti agama tuannya.
Yang lain lagi berpendapat bahwa taubat adalah kembali kepada
Allah, yang tadinya durhaka berubah menjadi taat kepada-Nya. Lalu apakah
makna kembali di sini bagi orang yang bertaubat dari satu dosa, dan dia
masih terus melakukan dosa yang lain? Menurut mereka, Allah tidak akan
menghukum orang yang bertaubat, karena dia sudah kembali menaati dan
beribadah kepada-Nya serta bertaubat dengan sebenar-benarnya. Orang
yang masih melakukan dosa seperti dosa yang dia mintakan am-punannya
kepada Allah, berarti belum bertaubat dengan sebenar-benarnya. Jika
orang yang bertaubat kepada Allah dapat menghilangkan cap orang yang
durhaka, sebagaimana orang kafir yang sudah kehilangan cap kafir jika dia
sudah masuk Islam, maka jika dia masih mengerjakan dosa, maka cap
durhaka itu belum hilang darinya, sehingga taubatnya belum dianggap
sah.
Letak permasalahannya, apakah taubat itu bisa dipilah-pilah seperti
halnya kedurhakaan, sehingga orang yang bertaubat dari satu dosa belum
dianggap bertaubat dari dosa yang lain, seperti halnya iman dan Islam?
Memang taubat itu bisa dipilah-pilah. Sebagaimana cara pelaksana-
annya yang berbeda, porsinya pun juga berbeda. Jika seseorang melakukan
satu kewajiban dan meninggalkan kewajiban lainnya, maka dia mendapat
hukuman berdasarkan kewajiban yang ditinggalkannya dan bukan
dihukum berdasarkan kewajiban yang dilakukannya. Begitu pula jika dia
bertaubat dari satu dosa dan tetap melakukan dosa yang lain. Berarti dia
harus bertaubat dari dosa itu.
Ada pula pendapat lain yang mengatakan bahwa taubat adalah satu
perbuatan. Artinya, taubat adalah membebaskan diri dari hal-hal yang
dimurkai Allah, kembali menaati-Nya dan menyesali apa yang telah diper-
buat. Jika taubat itu tidak dikerjakan secara sempurna, maka ia belum
dianggap sah, karena ia merupakan satu bentuk ibadah. Melakukan seba-gian
di antaranya dan meninggalkan sebagian yang lain lagi, sama dengan
melakukan sebagian ibadah wajib dan meninggalkan sebagian yang lain.
Ada pula yang berpendapat, setiap dosa mempunyai taubat yang
khusus baginya, atau merupakan kewajiban darinya. Satu taubat tidak
berkaitan dengan taubat lainnya, sebagaimana satu dosa yang tidak ber-
kaitan dengan dosa lainnya.
Menurut pendapat saya dalam masalah ini, bahwa taubat itu tidak
dianggap sah dari satu dosa tertentu, jika dosa lain yang sejenis tetap
dikerjakan. Sedangkan taubat dari satu dosa tertentu dianggap sah, se-
kalipun ada dosa lain yang tidak berkait dengannya masih tetap dilakukan. Contohnya, seseorang bertaubat dari dosa riba, tapi belum bertaubat
dari dosa minum khamr atau bahkan tetap melakukannya. Taubatnya dari
riba ini dianggap sah. Tapi jika dia bertaubat dari riba fadhl dan tidak
bertaubat dari riba nasi'ah, atau dia bertaubat dari mengkonsumi ganja
namun tetap meminum khamr, maka taubatnya itu tidak dianggap sah.
Keadaannya seperti bertaubat dari zina dengan seorang wanita, namun dia
tetap berzina dengan wanita lainnya. Ini pada hakikatnya belum bertaubat
dari dosa tersebut. Dia hanya beralih dari satu jenis dosa ke jenis lainnya
yang serupa, berbeda andaikan dia beralih dari satu kedurha-kaan ke
kedurhakaan lain yang tidak serupa.
Ketiga:
Agar taubat menjadi sah, apakah ada syarat bagi orang yang ber-
taubat untuk tidak kembali lagi melakukan dosa sama sekali, ataukah
tidak ada syarat seperti itu?
Sebagian orang mensyaratkan larangan mengerjakan kembali dosa
yang sama. Jika kembali melakukannya secara sengaja, berarti taubatnya
tidak sah. Namun kebanyakan orang tidak mensyaratkan seperti itu. Sah-
nya taubat tergantung kepada pembebasan dirinya dari dosa itu, menye-
salinya dan bertekad untuk tidak melakukannya kembali. Jika permasalah-
annya menyangkut hak manusia, maka apakah disyaratkan pembebasan
hak itu? Masalah ini harus dirinci lebih lanjut. Jika dia kembali melaku-
kannya, padahal dia sudah bertekad untuk tidak melakukannya kembali
saat bertaubat, maka keadaannya seperti orang yang mulai melakukan
kedurhakaan, dan taubat sebelumnya tidak gugur.
Permasalahan ini dikembalikan kepada asal-muasalnya, bahwa jika
seorang hamba bertaubat dari suatu dosa, kemudian dia melakukannya
kembali, maka apakah dosa yang telah dimintakan taubat itu kembali lagi,
sehingga dia berhak mendapat siksaan atas dosanya yang pertama dan
yang terakhir, jika dia mati dalam keadaan tetap melakukan dosa itu?
Dengan kata lain, apakah dia harus menanggung seluruh dosanya?
Ataukah dia hanya mendapat siksa atas dosanya yang terakhir?
Dalam hal ini ada dua pendapat. Golongan pertama berpendapat,
dosanya yang pertama kembali kepadanya lagi karena taubatnya dianggap
batal. Menurut mereka, karena taubat itu bisa disejajarkan dengan Islam
setelah kufur. Jika orang kafir masuk Islam, maka keislamannya itu
menghapus segala dosa semasa kekufurannya. Namun jika dia murtad,
maka dosanya yang pertama akan kembali lagi kepadanya dan ditambah
dengan dosa murtad. Hal ini seperti yang disebutkan di dalam Ash-Sha-hih,
dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,
ϲϓ˯ΎγϦϣϭΔϴϠϫΎΠϟϲϓϞϤϋΎϤΑάΧΆϳϢϟϡϼγϹϲϓϦδΣϦϣ
ήΧϵϭϝϭϷΎΑάΧϡϼγϹ
"Barangsiapa berbuat kebaikan semasa Islam, maka tidak ada
hukuman yang dijatuhkan kepadanya dari amalnya semasa
Jahiliyah, dan barangsiapa berbuat keburukan semasa Islam, maka
dia mendapat hukuman karena keburukannya yang pertama dan
yang terakhir."
Inilah keadaan orang yang masuk Islam dan berbuat keburukan
setelah dia masuk Islam. Sebagaimana yang diketahui, murtad merupa-kan
keburukan yang paling besar dalam Islam. Jika dia dihukum setelah murtad
dan juga dosanya sewaktu kufur, sementara Islam yang membatasi dua
keadaannya tidak berperan apa-apa, maka begitu pula taubat yang
membatasi antara dua dosa, yang tidak bisa menggugurkan dosa yang
lampau, sebagaimana ia yang juga tidak bisa menggugurkan dosa
berikutnya.
Masih menurut mereka, sahnya taubat ini disyaratkan dengan ke-
langsungannya. Sesuatu yang digantungkan kepada syarat akan diang-gap
musnah jika syaratnya musnah, sebagaimana sahnya Islam yang di-
syaratkan dengan kelangsungannya. Jadi taubat merupakan keharusan
sepanjang hayat, sehingga hukumnya juga berlaku sepanjang hayat. Hal ini
ditunjukkan sebuah hadits shaliih, yaitu sabda beliau,
ωέΫϻ·ΎϬϨϴΑϭϪϨϴΑϥϮϜϳΎϣϰΘΣΔϨΠϟϞϫϞϤόΑϞϤόϴϟΪΒόϟϥ·
ΎϬϠΧΪϴϓέΎϨϟϞϫϞϤόΑϞϤόϴϓΏΎΘϜϟϪϴϠϋϖΒδϴϓ
"Sesungguh-nya seorang hamba benar-benar mengerjakan amal
penghuni surga, sehingga jarak antara dirinya dan surga itu hanya
sejengkal. Namun dia didahului ketetapan takdir, sehingga dia
mengerjakan amal penghuni neraka, lalu dia pun masuk ke dalam
neraka."
Dalam As-Sunan juga disebutkan sabda beliau, "Sesungguhnya seorang
hamba benar-benar mengerjakan ketaatan kepada Allah selama enam puluh
tahun. Menjelang kematiannya, dia berbuat aniaya dalam wasiatnya,
sehingga dia masuk neraka." Kesudahan yang buruk lebih umum dari
sekedar kesudahan karena kufur atau suatu kedurhakaan, dan amal-amal itu
diukur dari kesudahannya.
Apabila ada yang berkata, "Berarti kebaikan terhapus oleh kebu-
rukan", maka ini adalah pendapat golongan Mu'tazilah. Sementara Al-
Qur'an dan As-Sunnah memberitahukan bahwa kebaikanlah yang meng-
hapus keburukan, bukan sebaliknya, seperti firman Allah,
Q
Komentar
Posting Komentar